Tiga Kriteria Manusia yang Tidak Layak Menjadi Teladan
Saudariku muslimah …
Senantiasa kita memanjatkan puji dan syukur kita kepada Allah subhanahu wa ta’ala yang telah banyak memberikan kepada kita karunia dan nikmat, terutama nikmat Islam dan nikmat iman. Senantiasa nikmat itu turun kepada kita, akan tetapi senantiasa maksiyat itu naik kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Sesungguhnya yang paling penting dalam kehidupan manusia adalah qudwah (teladan). Dan di antara perkara yang paling penting adalah adanya qudwah hasanah, suri tauladan yang baik yang harus dijadikan sebagai panduan untuk kehidupan kita. Maka ketahuilah wahai saudariku muslimah, Allah subhanahu wa ta’ala telah menjadikan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagai qudwah. Allah berfirman,
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيراً
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suatu tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang mengharapkan rahmat Allah dan keselamatan dihari kiamat dan banyak mengingat Allah.” (QS. Al-Ahzab: 21)
Maka sesungguhnya saudariku, seseorang yang mencari teladan kepada selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia akan binasa. Maka ia pun akan tersesat, karena petunjuk itu berasal dari Allah, disampaikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
فإن أصدق الحديث كلام الله، وخير الهدي هدي محمد، وشر الأمور محدثاتها، وكلّ محدثة بدعة، وكل بدعة ضلالة، وكل ضلالة في النار
“Sesungguhnya sebenar-benar kalam adalah Kalam Allah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan seburuk-buruk perkara adalah perkara-perkara yang baru (dalam agama). Setiap perkara baru (dalam agama) adalah Bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan. Padahal setiap kesesatan adalah berada di dalam neraka.”
(Kalimat ini disebut dengan Khutbatul Haajah, Shahih dikeluarkan oleh An Nasa’i (III/104), Ibnu Majah (I/352/1110), Abu Daud (III,460/1090). Lihat Al-Wajiz fi Fiqhis Sunnah hal. 144-145)
Oleh karena itulah, kewajiban kita untuk memilih dan memilah. Mana orang yang bisa dijadikan teladan dan mana yang tidak. Para ‘ulama dari kalangan shahabat, para ‘ulama dari kalangan tabi’in, para ‘ulama dari kalangan tabi’ut tabi’in dan para ‘ulama setelahnya, mereka adalah orang-orang shalih yang telah menghabiskan umur mereka untuk kebaikan, untuk tetap berada di jalan Allah, untuk berbakti kepada Allah dan agamanya dan untuk membela agama Allah Rabbul ‘alamin.Kewajiban kita untuk mengetahui siapa orang yang berhak dijadikan teladan. Dan siapa yang tidak berhak dijadikan teladan. Dengarkanlah firman Allah yang menyebutkan tentang tiga kriteria sifat yang apabila ketiga kriteria sifat ini ada pada seseorang, maka tidak boleh kita jadikan sebagai teladan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَن ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطاً
“…Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (QS. Al-Kahfi : 28)
Kriteria Pertama
Kriteria sifat yang pertama وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَن ذِكْرِنَا. Maksud dari arti “dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami” adalah orang tersebut menyebut Allah dengan lisannya tapi melupakan Allah dalam hati. Atau hatinya lalai dari Al-Qur’an sama sekali bahkan selalu menyelisihinya. Dan sifat orang munafik, mereka tidak berdzikir kepada Allah kecuali sedikit saja. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُواْ إِلَى الصَّلاَةِ قَامُواْ كُسَالَى يُرَآؤُونَ النَّاسَ وَلاَ يَذْكُرُونَ اللّهَ إِلاَّ قَلِيلاً
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka . Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” (QS. An-Nisaa : 142)
Berdzikir di sini maksudnya adalah zikir-zikir yang diwajibkan, seperti shalat misalnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي
“… dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.” (QS. Thaahaa : 14)
Seseorang yang shalat di waktu siang, waktu sore demikian pula di waktu Maghrib, ‘Isya dan Shubuh, maka ia telah melaksanakan zikir yang wajib.
Saudariku muslimah yang dimuliakan Allah…
Demikian pula orang yang meninggalkan zikir-zikir yang sunnah, pun tidak layak kita jadikan suri tauladan. Karena sesungguhnya yang sunnah-sunnah itu bukan untuk ditinggalkan akan tetapi untuk dijalankan.
Maka dari itulah, orang yang dipalingkan oleh Allah untuk berzikir kepada Allah pasti yang ia ingat selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga hatinya mengagungkan selain Allah, hanya berharap kepada selain-Nya, dan tidak bertawakkal kepada-nya. Cinta pun bukan karena Allah. Benci pun bukan karena Allah. Itulah orang-orang yang tidak pernah berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga syahwat menjadi kendaraannya, hawa nafsu menjadi komandannya dan kelalaian itulah menjadi kebiasaannya.
Wal iyyadzubillaah.
Maka dari itu Allah berfirman,
وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَن ذِكْرِنَا
“Jangan engkau ta’ati orang yang Kami lalaikan hatinya untuk berdzikir kepada Kami.”
Apabila seseorang telah lalai untuk berdzikir kepada Allah dan dia berpaling dari berdzikir kepada-Nya, maka Allah jadikan setan sebagai temannya. Allah berfirman,
وَمَن يَعْشُ عَن ذِكْرِ الرَّحْمَنِ نُقَيِّضْ لَهُ شَيْطَاناً فَهُوَ لَهُ قَرِينٌ
“Barangsiapa yang berpaling dari berdzikir kepada Allah Yang Maha Pemurah, Kami adakan baginya syaithan (yang menyesatkan) maka syaitan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya.” (QS. Az-Zukhruf : 36)
Yang dimaksud dengan berpaling dari zikir dalam ayat ini adalah berpaling dari peringatan Allah, yaitu Al Qur’an. Siapa saja yang tidak mengimani Al Qur’an, membenarkan berita yang disebutkan di dalamnya, tidak meyakini perintah yang diwajibkan di dalamnya, dialah yang dikatakan berpaling dari dzikir pada Allah dan setan pun akan menjadi teman dekatnya. Demikian dijelaskan oleh Ibnu Taimiyah dalam kitabnya al-Furqon (hal. 43).
Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala mengancam kepada orang yang berpaling dari zikir ini yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa orang tersebut akan diberikan penghidupan yang sempit di dunia dan akhirat. Allah berfirman,
وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكاً وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَى وَقَدْ كُنتُ بَصِيراً قَالَ كَذَلِكَ أَتَتْكَ آيَاتُنَا فَنَسِيتَهَا وَكَذَلِكَ الْيَوْمَ تُنسَى
“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta. Berkatalah ia: Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat? Allah berfirman: “Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamupun dilupakan.” (QS. Ath-Thaha: 124-126)
Orang yang melalaikan zikir kepada Allah, yaitu berupa peringatan-peringatan Al-Qur’anul karim dan peringatan-peringatan dari sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan dampak yang sangat buruk bagi kehidupan orang tersebut. Nasehat, pelajaran dan ibrah dari Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak bermanfaat lagi padanya, sehingga hatinya pun mengeras. Padahal orang yang beriman, apabila disebutkan nama Allah dia menjadi takut. Padahal orang yang beriman apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Allah, dia menjadi tambah keimanannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَاناً وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.” (QS. Al-Anfaal : 2)
***
Kriteria Kedua
Lalu sifat yang kedua adalah mengikuti hawa nafsunya وَاتَّبَعَ هَوَاهُ
Al-hawaa. Tahukan kalian apakah itu al-hawaa, wahai ukhti? Sesungguhnya hawaa adalah jalan yang menyelisihi sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Al-hawaa seringkali dimutlakkan oleh para ‘ulama untuk perbuatan yang tidak ada tuntunannya dalam Islam (baca: bid’ah). Oleh karena itulah, mereka sering mengatakan ahlul bid’ah sebagai ahlul-hawaa.
Pada sifat yang kedua ini, orang tersebut selalu mengikuti hawaa yakni bid’ah yang menyimpang dari sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Yang ia cari adalah sesuatu yang menyimpang dari sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Ahli bid’ah adalah orang yang mengikuti hawa nafsu, menentang dan memusuhi syariat yang ada.” (Silahkan lihat al-I’tisham karya Asy-Syathibi, 1/61)
Yunus bin Abdul A’laa Ash-Shadafi[1] berkata, “Saya pernah berkata kepada Imam Asy-Syafi’I, “Sahabat kami, yakni Al-Laits bin Sa’ad[2] pernah berkata, “Jika kalian melihat seorang lelaki berjalan di atas air janganlah terpedaya dengannya hingga kalian lihat apakah orang tersebut mencocoki Al-Qur’an dan As-Sunnah.” Imam Asy-Syafi’i berkata, “Tidak itu saja, semoga Allah merahmati beliau, bahkan jika kalian melihat seorang lelaki berjalan di atas bara api atau melayang di udara maka janganlah terpedaya dengannya hingga kalian lihat apakah ia mencocoki ajaran Al-Qur’an dan As-Sunnah.” (Diriwayatkan oleh As-Suyuthi dalam ‘Al-Amr Bittiba Wan-Nahii Anil Ibtida’)
Inilah saudariku muslimah, yang kita jadikan barometer kita. Di antara barometer atau sifat orang yang berhak kita jadikan teladan, yaitu mereka yang senantiasa mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
***
Kriteria Ketiga
Saudariku muslimah …
Lalu Allah menyebutkan sifat yang ketiga. Orang yang tidak berhak dijadikan qudwah yakni
وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطاً
“Dan adalah keadaanya itu melampaui batas.”
Maksudnya, orang tersebut banyak membuang waktu, menyia-nyiakan waktu dan kesempatan. Hari demi hari berlalu tapi dia tidak bisa menghasilkan sesuatu pun (dari amal ibadah). Di dalam ayat ini terdapat penjelasan pentingnya menghadirkan hati ketika berzikir kepada Allah. Seseorang yang berzikir kepada Allah dengan lisannya saja tanpa menghadirkan hatinya, maka berkah amal dan waktunya dicabut hingga dia merugi dan sia-sia. Kita akan menemui orang tersebut berbuat selama berjam-jam tapi tanpa hasil sedikit pun. Tapi kalau seandainya dia selalu menggantungkan hatinya kepada Allah, maka dia akan merasakan berkah amalnya tersebut.
Kita lihat terdapat dua fenomena yang keduanya merupakan perkara yang sangat menyimpang dari agama. Di satu pihak, terdapat orang yang menyia-nyiakan kewajiban-kewajiban yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala wajibkan kepadanya kemudian ada pihak lain yang dia pun berlebih-lebihan (ghuluw) dalam menjalankan syariat. Dan ini lebih berbahaya, wahai ukhti. Salah satu contohnya adalah, berlebih-lebihan dalam hal pengagungan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ia menganggap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tahu yang ghaib. Dia menganggap bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa memberikan manfaat dan mudharat. Contoh lain adalah, pihak yang berlebih-lebihan kepada orang shalih. Sehingga ia menganggap bahwa orang shalih bisa mengabulkan do’a, padahal orang shalih tersebut telah mati, orang yang berlebih-lebihan di dalam hal kafir mengkafirkan. Maka orang-orang seperti ini tidak bisa dijadikan teladan.
Inilah saudariku muslimah, tiga sifat yang Allah sebutkan yang apabila kita terjemahkan tiga sifat ini, maka akan sangat panjang dan mencakup semua keburukan yang ada yang telah Allah sebutkan dalam Al-Qur’an dan disebutkan dalam berbagai hadits. Dan ketiga sifat ini tidak bisa kita jadikan qudwah (teladan).
Maka kebalikannya, orang yang bisa dijadikan qudwah juga yang mempunyai tiga sifat. Yang pertama adalah orang yang senantiasa memperhatikan peringatan Al Qur’an dan Sunnah Rasul, serta zikir kepada Allah. Yang kedua adalah yang senantiasa mengikuti sunnah Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang ketiga adalah yang tidak menyia-nyiakan kewajiban-kewajiban yang Allah wajibkan kepadanya dan dia pun tidak berlebih-lebihan (ghuluw) dalam beragama.
Wa shollallahu ‘ala nabiyyiina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Footnote :
[1] Beliau adalah Yunus bin Abdul A’laa Ash-Shadafi Abu Musa AI-Mishri, seorang tsiqah. Silakan lihat Tahdzib At-Tahdzib (XI/440), Taqrib At-Tahdzib (II/385), Al-Jarh wat Ta’dil (IX/243), Wafayaatil A’yan (VII/249) dan Al-Ansab(VIII/288).
[2] Beliau adalah Al-Laits bin Sa’ad bin Abdurrahman AI-Fahmi Abul Harits AI-Mishri, seorang tsiqah, faqih dan imam yang sangat terkenal. Silakan lihat Tarikh karangan Ibnu Ma’in (II/501) dan Siyar A’lamun Nubala’ (VIII/122).
Penulis: Ummu Izzah Yuhilda
Muroja’ah: Ust. M. A. Tuasikal
Muroja’ah: Ust. M. A. Tuasikal
Maraji’ :
- Qur’anul karim dan terjemahannya
- www.ahlulhadist.wordpress.com
- www.raudhatulmuhibbin.org
- www.muslim.or.id
- Syaikh Utsaimin, Tafsir Al-Kahfi, As-Sunnah, Jakarta.
- Dr. Said bin Ali bin Wahf Al-Qahthani, Cahaya Sunnah dan Kelamnya Bid’ah, Samodra Ilmu, Yogyakarta.
- Abu Yahya Badrusalam, Lc., Keindahan Islam dan Perusaknya, Al-Bashirah.
- Abdul Hakim bin Amir Abdat, AlMasaa-il (Masalah-masalah Agama), Darus Sunnah, Jakarta.
- Dr. Sa’id bin Ali Wahf Al-Qahthani, Syarah Do’a dan Dzikir Hishnul Muslim, Darul Falah, Jakarta.
- E-Book Ikuti Sunnah dan Jauhi Bid’ah karya Al-’Allamah ‘Abdul Muhsin Al-’Abdad.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar