 “Dan orang-orang yang berdoa: “Ya Tuhan kami,  anugerahkanlah untuk kami isteri-isteri dan anak keturunan kami yang  menjadi penyejuk mata kami, dan jadikanlah kami pemimpin bagi  orang-orang yang bertaqwa”. (QS. Al-Furqan: 75)
 “Dan orang-orang yang berdoa: “Ya Tuhan kami,  anugerahkanlah untuk kami isteri-isteri dan anak keturunan kami yang  menjadi penyejuk mata kami, dan jadikanlah kami pemimpin bagi  orang-orang yang bertaqwa”. (QS. Al-Furqan: 75)Imam Ibnu Katsir memahami qurratu a’yun dalam  ayat ini sebagai anak keturunan yang taat dan patuh mengabdi kepada  Allah. Ibnu Abbas menjelaskan bahwa keluarga yang dikategorikan qurratu  a’yun adalah mereka yang menyenangkan pandangan mata di dunia dan di  akhirat karena mereka menjalankan ketaatan kepada Allah, dan memang kata  Hasan Al-Bashri tidak ada yang lebih menyejukkan mata selain dari  keberadaan anak keturunan yang taat kepada Allah swt.
Secara bahasa, anak dalam bahasa Arab lebih  tepat disebut dengan istilah At-Thifl Pengarang Al-Mu’jam  al-Wasithmengartikan kata At-Thifl sebagai anak kecil hingga usia  baligh. Kata ini dapat dipergunakan untuk menyebut hewan atau manusia  yang masih kecil dan setiap bagian kecil dari suatu benda, baik itu  tunggal.
Kamus besar bahasa Indonesia mengartikan anak  sebagai keturunan kedua. Disamping itu anak juga berarti manusia yang  masih kecil. Anak juga pada hakekatnya adalah seorang yang berada pada  suatu masa perkembangan tertentu dan mempunyai potensi untuk menjadi  dewasa seiring dengan pertambahan usia. Dalam kontek ini, maka anak  memerlukan bantuan,bimbingan dan pengarahan dari orang dewasa (orang tua  dan para pendidik).
Berdasarkan pembacaan terhadap ayat-ayat  Al-Qur’an yang menyebut kata Ath-Thifl yang berarti anak yang masih  kecil sebelum usia baligh, maka terdapat empat ayat yang menyebut kata  ini secara tekstual. Dua ayat berbicara tentang proseskejadian manusia  yang berawal dari air mani, yaitu surah Al-Hajj: 5 dan surah Ghafir: 67.  Sedangkan kedua ayat lainnya yang menyebut kata At-Thifl terdapat dalam  surah An-Nur : 31 dan 59 yang menjelaskan tentang adab seorang anak di  dalam rumah terhadap kedua orang tuanya.
Yang paling mendasar dalam pembahasan seputar  anak tentu tentang kedudukan anak dalam perspektif Al-Qur’an agar dapat  dijadikan acuan oleh orang tua dan para pendidik untuk menghantarkan  mereka menuju kebaikan dan memelihara sertameningkatkan potensi mereka.  Al-Qur’an menggariskan bahwa anak merupakan karunia sekaligus amanah  Allah swt, sumber kebahagiaan keluarga dan penerus garis keturunan orang  tuanya. Keberadaan anak dapat menjadi: 1) Penguat iman bagi orang  tuanya [QS: 37: 102] seperti yang tergambar dalam kisah Ibrahim ketika  merasa kesulitan melakukan titah Allah untuk menyembelih Ismail, justru  Ismail membantu agar ayahnya mematuhi perintah Allah swt untuk  menyembelihnya, 2) Anak bisamenjadi do’a untuk kedua orang tuanya. [QS:  17: 24], 3) Anak juga dapat menjadi penyejuk hati (Qurratu A’ayun), [QS:  26: 74], 4) menjadi pendorong untuk perbuatan yang baik [QS: 19: 44].  Akan tetapi, pada masa yang sama, anak juga dapat menjadi 5) fitnah,  [QS: 8; 28] 6), bahkan anak dapat menjelma menjadi musuh bagi orang  tuanya. [QS: 65: 14]
Maka dari itu, para ulama sepakat akan  pentingnya masa kanak-kanak dalam periode kehidupan manusia. Beberapa  tahun pertama pada masa kanak-kanak merupakan kesempatan yang paling  tepat untuk membentuk kepribadian dan mengarahkan berbagai kecenderungan  ke arah yang positif. Karena pada periode tersebut kepribadian anak  mulai terbentuk dan kecenderungan-kecenderunganya semakin tampak.  Menurut Syekh Fuhaim Musthafa dalam karyanya Manhaj al-Thifl al-Muslim:  Dalilul Mu’allimin wal Aba’ Ilat-Tarbiyati Abnamasa kanak-kanak ini juga  merupakan kesempatan yang sangat tepatuntuk membentuk pengendalian  agama, sehingga sang anak dapat mengetahui, mana yang diharamkan oleh  agama dan mana yang diperbolehkan.
Dalam hal ini, keluarga merupakan tempat pertama  dan alami untuk memelihara dan menjaga hak-hak anak. Anak-anak yang  sedang tumbuh dan berkembang secara fisik, akal dan jiwanya, perlu  mendapatkan bimbingan yang memadai. Di bawah bimbingan dan motifasi  keluarga yang continue akan melahirkan anak-anak yang dikategorikan  ‘qurratu a’yun’.
Untuk mewujudkan semua itu, maka sejak awal  Islam telah menyoroti berbagai hal di antaranya penegasan bahwa  awalpendidikan seorang anak dimulai sejak sebelum kelahirannya, yaitu  sejak kedua orang tuanya memilih pasangan hidupnya. Karena pada dasarnya  anak akan tumbuh dan berkembang banyak tergantung dan terwarnai oleh  karakter yang dimiliki dan ditularkan oleh kedua orang tuanya. Di antara  tujuan disyariatkan pernikahan adalah terselamatkannya keturunan dan  terciptanya sebuah keluarga yang hidup secara harmonis yang dapat  menumbuhkan nilai-nailai luhur dan bermartabat.
Dalam konteks ini, Al-Ghazali yang kemudian  dikuatkan prinsip-prinsipnya oleh Ibn Qayyim al-Jauzyyah menegaskan  bahwa pendidikan di lingkungan keluarga sangatlah penting, oleh kerena  itu pelaksanaannya harus dilakukan dengan baik, denganpembiasaan dan  contoh-contoh teladan, memberikan permainan yang wajar dan mendidik,  jangan sampai memberikan permainan yang mematikan hati, merusak  kecerdasan, menghindarkannya dari pergaulan yang buruk. Pengaruh yang  positif diharapkan akan menjadi kerangkan dasar bagi anak untuk  menyesuaikan diri dengan lingkungannya serta bagi pertumbuhan dan  perkembangan selanjutnya.
Membangun kerangka dasar pada anak usia dini  dapat diibaratkan membangun sebuah bangunan bertingkat. Bangunan seperti  itu tentu saja akan dimulai dengan membuat kerangka pondasi yang sangat  kokoh yang mampu menopang bagian bangunan yang ada di atasnya. Demikian  pula anak-anak yang memiliki pondasi yang kuat dan kokoh ketika usia  dini maka akan menjadi dasar dan penopang bagi perkembangan anak  memasuki pendidikan selanjutnya, termasuk mempersiapkan hidupnya di  tengah masyarakat.
Menurut pandangan Syekh Mansur Ali Rajab dalam  karyanya Ta’ammulat fi falsafah al-Akhlaq terdapat paling tidak lima  aspek yang dapat diturunkan dari seseorang kepada anaknya, yaitu: 1).  Jasmaniyah, seperti warna kulit, bentuk tubuh, sifat rambut dan  sebagainya. 2). Intelektualnya, seperti, kecerdasan dan atau kebodohan.  3) tingkah laku, seperti tingkah laku terpuji, tercela, lemah lembuat,  keras kepala, taat, durhaka. 4) alamiyah, yaitu pewarisan internal yang  dibawa sejak kelahiran tanpa pengaruh dari faktor eksternal. 5)  sosiologis, yaitu pewarisan yang dipengaruhi oleh faktor eksternal.
Ibn Qayyim Al-Jauzyyah dalam salah satu karyanya  yang monumental tentang pendidikan anak ’Tuhfatul Maudud bi Ahkamil  Maulud’ menegaskan bahwa setiap anak terlahir dalam keadaan fitrah, suci  dan selamat dari penyimpangan dan menolak hal-hal buruk yang  membahayakan dirinya. Namun lingkungan yang rusak dan pergaulan yang  tidak baik akan menodai kefitrahan anak dan dapat mengakibatkan berbagai  penyimpangan dan pada gilirannya akan menghambat perkembangan akal  fikirannya. Sehingga tujuan akhir dari dari pendidikan anak prasekolah  adalah memberikan landasan iman dan mental yang kokoh dankuat pada anak,  sehingga akan hidup bahagia bukan saja di saat ia dewasa dalam  kehidupannya di dunia, tetapi juga bahagia di akherat, bahkan diharapkan  dapat mengikut sertakan kebahagiaan itu untuk kedua orang tua, guru dan  mereka yang mendidiknya.
Sehingga pendidikan anak usia dini pada  hakekatnya juga merupakan intervensi dini dengan memberikan rangsangan  edukasi sehingga dapat menumbuhkan potensi-potensi tersembunyi (hidden  potency) serta mengembangkan potensi tampak (actual potency) yang  terdapat pada diri anak. Upaya mengenal dan memahami barbagai ragam  potensi anak usia dini merupakanpersyaratan mutlak untuk dapat  memberikan rangsangan edukasi yang tepat sesuai dengan kebutuhan  perkembangan potensi tertentu dalam diri anak. Upaya ini dapat dilalukan  dengan memahami berbagai dimensi perkembangan anak seperti bahasa,  intelektual, emosi, social, motorik konsep diri, minat dan bakat.
Tujuan lain dari pemberian program simulasi  edukasi adalah melakukan deteksi dini terhadap kemungkinan terjadinya  gangguan dalam pertumbuhan dan perkembangan potensi-potensi yang  dimiliki anak. Gangguan ini dapat muncul dari dua faktor, yakni faktor  internal yang terdapat dalam diri anak dan dan faktor ekternal yang  berwujud lingkungan di sekitar anak,baik yang berwujud lingkungan fisik  seperti tempat tinggal, makanan dan alat-alat permainan ataupun  lingkungan sosial seperti jumlah anak, peran ayah/ ibu, peran nenek/  kakek, peran pembantu, serta nilai dan norma sosial yang berlaku.
Ayat di atas yang menjadi doa sehari-hari setiap  orang tua yang mendambakan hadirnya keturunan yang qurratu a’yun,  hendaknya dijadikan acuan dalam pembinaan anak, sehingga tidak lengah  sesaatpun dalam upaya melakukan pengawasan, pendidikan dan pembinaan  anak-anak mereka. Itulah diantara ciri Ibadurrahman yang disebutkan pada  ayat-ayat sebelumnyayang memilki kepedulian besar terhadap nasib  anak-anak mereka di masa yang akan datang. Semoga akan senantiasa lahir  dari rahim bangsa ini generasi yang qurratu a’yun, bukan hanya untuk  kedua orang tuanya, tetapi juga masyarakatnya dan bangsanya. Amin
Silakan di Comentari





















 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar