Rabu, 19 Januari 2011

Ini Uang Halal















Kira-kira pertengahan Ramadhan, pagi hari menjelang sampai ke gerbang kampus. Sebuah papan pengumuman terpampang dipinggir sawah di pendakian setelah terminal Kampung Koto. “Tanah di jual 1024 m2″, lengkap dengan nomor telepon 0751 xx xxx. Bukannya saya ingin membeli tanah tersebut, dengan gaji dosen biasa jelas mana sanggup. Tanah tersebut pasti harga nya sangat mahal, terletak di dekat sebuah kampus terkenal, seperti kata Menteri Pendidikan beerapa waktu lalu, ketika pemberian gelar Doktor Honouris Causa pada Presiden Republik Indonesia SBY dulu. “Tapi tidak apalah coba ditanyakan saja, sambil mengingat nomor telepon yang tercantum pada papan tersebut”, guman saya sendiri sambil berlalu.
Sesampai di kampus, sepeda motor bekas cicilan saya parkir di belakang kampus. Sejenak memandang ke arah barat, pemandangan laut dari atas sungguh cantik sekali, capek di jalan terasa terhapus. Saya berdiri dan menarik telepon saku dari kantong celana, tidak terasa satu lembar uang dua puluh ribuan terjatuh secara tidak sengaja. Namun entah kenapa uang tersebut saya biarkan saja. “Biarlah sebentar, setelah menelpon yang punya tanah tersebut, uang tersebut akan saya ambil lagi”, hati saya berkata.
Setelah menghubungi yang punya tanah tadi, ternyata memang mahal sekali, jauh dari beberapa ratus ribu dari saya kira. “Nantilah pada suatu saat kalau uang saya sudah cukup tanah seperti itu dapat dibeli juga”, kata hati saya. Saya berlalu, sedikitpun tidak teringat satu lembar uang dua puluh ribuan sempat tergeletak seperti barang tidak bernyawa.
Sesampai di ruang kerja, setumpuk buku bahan kuliah sudah disiapkan. Jam 8.30 pagi tersebut saya harus masuk kelas. Memang benar, sekumpulan mahasiswa telah berkumpul di dapan kelas. Kelas pun segera di mulai.
Tidak terasa dua jam telah berlalu, kuliah pun selesai.Seperti biasa kepuasan seorang Dosen adalah setelah kuliah selesai, mahasiswa penuh dan menyimak sampai pembicaraaan usai. Badan saya terasa kehabisan asai, tenggorokan kering terasai, namun puasa belum selesai.
Sebelum kembali ke ruang kerja, saya mampir ke kantor Pak Kajur untuk melihat apa-apa. Akan tetapi sebelum sampai di sana, menjelang akhir anak tangga lantai dua, tiba-tiba batin “tercenung”, “uang”, terpana. Uang dua puluh ribuan saya, yang jatuh dari saku celana, saya tadi belum sempat saya ambil an tadi saya berlalu begitu saj. Tampa pikir panjang, saya langsung balik kanan, dan setengah berlari ke belakang gedung. Saya tidak peduli setengah mahasiswa yang berkumpul di pelataran gedung agak heran, menyapa.
Sesampai di belakang kantor jurusan teknik mesin, ternyata uang dua puluh ribuan tersebut telah sirna. Tidak berbekas, sudah lebih dua jam, pasti telah banyak orang lalu lalang, baik mahasiswa, maupun Dosen sebahagian lewat di sana. Dengan hati sedikit menyesal, atas kelalaian ini keadaan ini harus juga diterima. “Yang bukan hak kita, ya memang milik kita”, kata sayai.
Dua puluh ribu bukan uang kecil untuk ukuran saya, satu lembar tersebut cukup menghidupi satu hari keluarga saya. Namun yang nama nya bukan rejeki, apa yang ditanganpun mudah sekali sirna.
Hampir satu bulan berlalu, Senin hari pertama masuk kantor, setelah satu minggu setelah Hari Raya telah molor, saya sampai kembali ke kampus ditempat yang sama di mana saya menyia-nyiakan uang dua puluh ribu saya. Hari masih pagi, suasana masih lengang dan sepi, setelah melintas di ruang labor, saya sampai di koridor. Sesaat sebelum sampai di tangga saya berpapasan dengan salah seorang mahasiswa. “Pak”, katanya. Segera saya menyalaminya, dan berkata. “Minal Aidin wal Fazin”. “Sama-sama Pak”, katanya. Saya berlalu beberapa langkah, tiba-tiba kembali mahasiswa tersebut menyapa,”Pak”, katanya. “Bapak pernah kehilangan uang.”. Sebelum selesai dia berkata saya menyahut, “duapuluh ribu”. “Ya pak,uang tersebut tergeletak di samping kendaraan Bapak” katanya kembali.
Segera dia masuk ke dalam ruangan laboratorium dan mengambil sesuatu di kantong yang tergantung dinding, dan menyerahkan satu lembar kertas kepada saya. Ternyata memang benar satu lembar uang dua puluh ribuan. Dengan tersenyum dan mengucapkan terima kasih kepadanya saya berkata, “ini uang halal” sambil mengangkat uang tersebut. Dia tertawa dan sayapun berlalu. Saya senang, atau sangat senang sekali, bukan karena uang saya kembali, akan tetapi saya sangat sengat senang bahwa mahasiswa saya, mahasiswa Jurusan Teknik Mesin ternyata sangat putih, bersih pada tahun ini.
Saya pandang uang tersebut dan saya tempel dinding untuk, hanya sekedar untuk mengingat mahasiswa saya.
***
Dari Sahabat

Tidak ada komentar: