Sasaran dan Tujuan Da’wah
Itulah fakta sejarah, dan sekaligus harus menjadi uswah serta menunjukan betapa Rasulullah saw tidak menerima keyakinan seseorang melainkan dengan aqidahnya yang utuh sempurna, dibarengi dengan tuntutan pelaksanaan yang konsisten dan konsekuen. Dalam kasus di atas, hanya masalah wasilah (perantara) serta teknik pelaksanaannya yang terlihat seolah-olah beliau menerima usulan kabilah tersebut dalam bentuk ‘sinkritisme’ (kesatuan keyakinan) tetapi ternyata tetap saja dalam masalah keyakinan dituntut utuh. Oleh karena itu dakwah Islamiyah haruslah dalam bentuk usaha mempertahankan aqidahnya maupun fikrah Islam, serta mempertahankan aqidah maupun fikrah Islam, serta mempertahankan pula pelaksanaannya dengan sempurna, tanpa kompromi, tanpa adanya proses adaptasi, dan tidak membiarkan terjadinya kelalaian dalam melaksanakan Islam. Dalam hal ini, seseorang boleh saja mempergunakan teknik dan sarana apapun, sepanjang hal tersebut ada kaitannya antara ide dengan hukum Islam.Pengemban dakwah Islamiyah dituntut agar setiap amal atau perbuatannya mengarah kepada tujuan tertentu. Ini merupakan hal yang teramat penting. Selain itu, ia dituntut pula agar selalu mencamkan tujuan tersebut ke dalam benaknya tanpa kenal istirahat untuk mencapai tujuan tersebut. Sebab, tentu ia tidak akan rela sekedar menerima ide (Islam) tanpa berusaha mengamalkannya, menganggap bahwa semua itu hanya sebuah hayalan belaka.
Ia juga tidak rela terhadap pemikiran dan usaha yang tidak mengarah kepada suatu tujuan karena hal tersebut seperti gerakan putaran ‘gasing’ yang hanya bergerak di tempat, sehingga usaha yang seperti itu akan berakhir pada kejumudan dan keputusasaan. Bahkan, ia tidak akan henti-hentinya berusaha mengaitkan pemikiran dan amal perbuatan, menjadi pemikiran dan perbuatan yang mengarah pada tujuan yang dapat direalisasikan dalam kehidupan nyata.
Rasulullah saw mengemban qiyadah fikriyah (memimpin ummatnya atas dasar ide-ide Islam) sejak beliau berada di Makkah. Saat itu Rasulullah saw mengajak ummat manusia untuk memeluk Islam, yaitu ‘Laa Ilaha Illalah Muhammad Rasulullah’. Beliau mengarahkan pemikiran mereka menjadi aqidah Islam sebagai landasan berfikir. Beliau juga berusaha untuk mendaulatkan Islam sebagai satu-satunya sistem yang ditetapkan dalam masyarakat.
Rasulullah saw mulai mendidik orang-orang yang telah beriman yang kemudian menjadi shahabat-shahabatnya agar mereka memadukan antara pemikiran dengan perbuatan. Beliau juga mengajarkan kepada mereka 10 ayat Al Qur’an, dan tidak mengajarkan yang lain, sampai mereka memahami maknanya dan mengamalkan isinya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud dan para shahabat lainnya. (Muqaddimah Ibnu Taimiyah, dalam Kitab ushulut-Tafsir: 44)
Rasulullah saw menggambarkan kepada mereka bahwa Allah SWT akan memenangkan agama-Nya di seluruh penjuru Jazirah Arab sehingga seorang yang berjalan dan memakai kendaraan dari Shan’an (Yaman Utara) sampai Hadral Maut (Yaman Selatan) tidak akan merasa takut, kecuali hanya kepada Allah SWT. Ia aman. (Shalih Bukhari, hadits no. 3852)
Untuk tujuan itu, Rasulullah saw telah memulai dakwahnya dari Makkah. Setelah terjadi pergolakan yang lama serta perjuangan yang penuh dengan kesengsaraan, beliau lalu menetapkan bahwa masyarakat Makkah tidak dapat dijadikan titik acuan (sentral) untuk menerapkan sistem Islam. Oleh karena itu beliau berusaha mempersiapkan masyarakat Madinah sampai beliau berhasil mendirikan masyarakat Islam, menerapkan sistem Islam, mengembang risalah-Nya, serta mempersiapkan ummatnya untuk mengembangkan risalah tersebut sesudahnya, sejalan dengan metode yang telah digariskan. Selain itu, beliau juga menjelaskan kepada kaum muslimin bagaimana caranya mengatur jalannya pemerintahan, membentuk strukturnya, dan usaha menghimpun sumber pendapatan dan belanja, serta segala sesuatu yang berhubungan dengan sistem dan mekanisme pemerintahan. Beliau memerintahkan kaum muslimin sesudahnya untuk tidak melewatkan satu kurun waktupun tanpa adanya Khalifah (Tartib Musnad Imam Ahmad XIII: 12); dan tidak membiarkan waktu terluang tanpa adanya jihad dan futuhat daerah baru (Sunan Abu Daud III: 12; Sunan Ad-Dailami, Firdaus Al-Akhbar: hal. 228).
WALLOHU'ALAM
SILAHKAN BERIKAN KOMENTAR
Tidak ada komentar:
Posting Komentar