Kamis, 20 Januari 2011

Mukena Untuk Syana

Mukena Untuk Syana 

Detik ini aku berada di sebuah kamar yang sumpek dengan tempat tidur yang tidak empuk lagi, seperti tidur di papan saja. Walaupun begitu aku tetap saja memilih menyendiri di kamar ini dan mengunci pintu rapat-rapat. Aku kesal sekali hari ini. Kesal dengan mereka. Ayah, ibu, kakek, dan nenekku. Dasar orang tua dan anak sama saja sifatnya. Like father like son.
Aku sudah membayangkan betapa meriahnya pesta teman-temanku di Bali. Aku dan teman-teman sudah menyiapkan pesta gila-gilaan selama berbulan-bulan. Capek, benar-benar capek. Aku yang paling mati-matian menyiapkan pesta ini. Aku sudah booking kamar hotel, sampai pernah ke Bali sendiri melakukan survey tempat biar tidak mengecewakan teman-teman.
Itu semua sudah kandas. Pesta yang kurencanakan dan kusiapkan selama berbulan-bulan kandas. Tidak ada kamar hotel yang empuk, tidak ada dugem yang sudah kuimpi-impikan, tidak ada hingar bingar musik, tidak ada teriakan dan ocehan teman-teman gaulku. Semuanya sudah kandas!. Rangkaian kata-kata yang berisi permintaan ijin ortu untuk main ke rumah teman saat liburan sudah tidak bermanfaat lagi. Ayah ibuku mengetahui rencanaku. Aku tahu pasti ada yang membocorkan rencanaku. Hasilnya, liburan tahun ini, aku dibuang di sini. Di tempat kakek nenek. Sebuah desa yang sangat sepi dan membosankan. Rumah kakek nenekku benar-benar menjadi tempat pengasinganku. Tanpa HP, tanpa telepon rumah, tanpa teman-teman dekatku, tanpa kemewahan yang sering kudapat di kota, tanpa semua yang kuinginkan. Aku benar-benar bisa gila dengan semua ini.
“Syan, buka pintu, nak. Sudah waktunya makan siang. Kamu belum makan dari pagi, nak”, suara nenekku mampu membangunkanku dari lamunanku.
“Nggak! Syana nggak mau makan. Nggak lapar.” Jawabku dengan ketus. Nenekku sebenarnya sangat baik. Lebih baik dari ibuku. Setidaknya, nenek selalu menyempatkan diri buat ngurus orang-orang di sekitarnya. Tidak seperti ibu yang selalu sibuk dengan arisan, ngerumpi ke tetangga, jalan-jalan dan ngabisin uang ke mall, bla bla bla, de el el. So what gitu loh kalau aku juga ngehabisin waktu buat main sama temen-temenku. Gak ada bedanya,kan ?
Kakekku juga lebih baik dari ayahku. Walaupun hanya lulusan Sekolah Rakyat, dia adalah orang yag sangat keren bila diajak bicara. Tidak seperti ayahku, seorang sarjana denagn predikat cum laude. Orang yang sangat dingin. Tidak pernah mendengar alasan putrinya. Diktator. Jahat, selalu benar… menurutku.
Kakek, nenek, ayah, ibu sekarang sama. Semuanya sama. Tidak ada yang baik. Fyiuh!! Kenapa aku harus seperti ini ? Cuman karena tidak bisa main bareng temen, aku menyamakan kakek nenek dengan ortuku? Lapar. Aku kelaparan. Aku belum makan sejak kemarin. Sejak aku berangkat dari rumah menuju tempat pembuangan ini. Ihh aku ingin makan, tapi aku lagi marah. Kesel sebel. Bila sudah sebel, aku tahan nggak makan.
“Syan…Ini kakek, kalo nggak mau makan, sholat dulu gih. Udah jam satu,” kini gantian suara serak kakekku yang muncul dari balik pintu. Hah… sholat? Sejak kapan aku sholat ? Kakek dan nenek pasti bercanda. Mereka sudah tahu kalau aku bukan tipe orang yang melakukan ibadah itu. Lucu, benar-benar lucu.
“Syan nggak sholat! “ teriakku.
“Ya udah, kalau gitu. Nenek mau sholat dulu. Syan kalau mau makan ambil sendiri yah,”
“Nek, Syan nggak pernah sholat,” jawabku mempertegas jawabanku tadi.
“Syan….!” suara nenekku lirih. Nenek nangis. Aku nggak habis pikir. Kakek nenek adalah orang-orang yang sangat taat beragama, tapi tidak satupun anak-anak mereka yang alim. Termasuk ayahku, putra pertama mereka.
Masih kudengar suara tangisan nenekku dari balik pintu. Aku paling nggak tahan mendengar tangisan. Kudengar juga suara kakek yang berusaha menenangkan nenek. Aku bingung, sebel sama diriku sendiri. Kuangkat tubuhku dan berjalan menuju pintu. Kubuka pintu perlahan.
“Syan…,” ucap nenek dan langsung memelukku sesaat setelah kubuka pintu.
“Nek, Syan nggak bawa mukena,” ucapku.
“Pake punya nenek, Syan.”
Aku sholat diimami nenek. Air mata nenek membasahi sajadahnya, aku terbawa suasana. Ini adalah sholat pertamaku sejak SMP. Kini aku sudah kelas dua SMA. Sholat terakhir yang kulakukan saat SMP adalah sholat karena ujian praktek agama. Ahhh seburuk itukah aku?
“Nek, maapin Syan yaa.” Ucapku seusai sholat, disambut senyuman lembut nenekku.
**
Sudah seminggu aku tinggal di rumah kakek nenek. Pagi ini sudah saatnya pulang. Jam kuno di ruang tamu berdentang enam kali. Sedih sekali meninggalkan tempat ini. Tempat yang kubenci saat hari pertama aku menginjakkan kaki di sini, kini menjadi tempat yang sangat berat kutinggalkan.
Delman yang akan mengantarkanku menuju terminal sudah datang. Kakek ikut mengantarkanku sampai terminal. Nenek tidak bisa ikut mengantarkan karena pagi ini rumah nenek mendapat giliran tempat untuk pengajian desa. Sedih sekali harus berpisah dengan nenek. Sebelum pulang, kucium tangan nenek dan kupeluk tubuh nenek yang lebih kecil dariku.
“Syan, kalau udah pake jilbab, nggak perlu pake topi !” nenek membuka topiku lalu menjitak kepalaku.
“Syan, topinya buat kakek aja ya!” seloroh kakekku, disambut tawa nenek.
“Assalamualaikum, nek…!”
Delman membawaku pergi meninggalkan nenek. Tubuh nenek mengecil dan menghilang. Nek, i will miss u.
“Ehh katanya kamu bukan bocah cengeng ! udah.. udah. Kalau liburan ke sini, ya. Sebentar lagi kalau udah musim panen, kakek ma nenek juga mau datang ke rumahmu.” Ucap kakek sambil memakaikan topi ke kepalaku.
“Bener, janji lho. Oleh-olehnya yang banyak.” Jawabku.
“Eh.. kata nenek, ‘kalau udah pake jilbab, nggak perlu pake topi’, hehe,” ucapku sambil meniru gaya bicara nenek yang lirih. Kulepas topiku.
“Kubilangin nenekmu lhoo.”
“Bilangin aja weeeeee…”
**
Capek. Udah gonta-ganti bus sampai tiga kali. Untung nggak tersesat. Maklum, aku pergi ke desa diantar temen ayah pake mobil. Akhirnya sampai juga aku di kota Solo tercinta. Kulihat jam tanganku. Wahh sudah jam dua lebih. Aku belum sholat Dhuhur. Kucari mushola. Penuh dan sesak. Ya udah jalan satu-satunya yaitu cepat-cepat mencari taksi and go home soon. Alhmdulillah. sampai di rumah juga, setelah kurang dari 15 menit perjalanan. Agak ragu aku memasuki rumah. Kuketuk pintu rumah.
“Assalamualaikum.” Kebiasaan salam yang kudapat selama seminggu di rumah nenek tak sengaja keluar dari mulutku.
Ibu membukakan pintu tanpa menjawab salam. Ibu bengong meihatku. Segera kucium tangan ibu.
Di ruang tengah, ayah hanya terdiam tanpa suara. Seperti biasanya. Dingin.
“Ibu, maapin Syan ya.”
Kulihat jam menunjukkan pukul 14.30. Aku belum sholat Dhuhur. Segera kuberlari ke lantai atas menuju kamar mandi lalu ke kamar. Kucari mukenaku. Ahh akhirnya ketemu juga. Mukena satu-satunya sejak SMP. Coba kukenakan. Hmm..kekecilan. Atasannya hanya menutup setengah lenganku. Bawahannya tidak mampu menutupi kakiku. Ya Allah, untuk menghadapMu pun aku tak punya pakaian yang layak. Beberapa menit lagi suara adzan Ashar akan berkumandang. Aku masih berdiri terpaku, bingung. Di lantai bawah. Kudengar mulai ada teriakan-teriakan.
“Aku sudah bilang. Bukan jalan baik ngirim anakmu ke rumah orang tuaku. Dia sudah teracuni. Mending dulu kau biarkan saja dia minggat ke Bali! “ ucapan ayahku terdengar jelas. Membuatku tambah bingung.
“Ayah, setidaknya dia nggak bersama anak-anak nakal. Iyya,kan.!” Jawab ibuku tak kalah kerasnya.
Ayah, ibu…….aku sayang kalian. Aku tak ingin gara-gara aku kalian bertengkar. Kudengar ketukan pintu dan suara ayah ibuku dari balik pintu.
“Syan.. buka pintu. Ayah dan ibu mau bicara.” Suara ibuku terdengar dari balik pintu.
Ragu tapi kubuka pintu kamarku. Mukena yang kekecilan masih melekat di tubuhku. Ayah dan ibu hanya terdiam membisu melihatku.
“Syan mau sholat tapi mukenanya kekecilan.” Ucapku.
Tak ada reaksi dari ayah dan ibuku. Sementara sayup-sayup terdengar suara adzan menunjukkan waktu sholat Ashar telah tiba.
“Syan berangkat dari rumah nenek tadi pagi. Belum sholat Dhuhur. Sekarang sudah Ashar. Syan nggak tahu cara menjamak sholat.” Ucapku lirih. Aku tak sengaja mengeluarkan air mata di depan ayah ibuku, sesuatu yang tidak pernah kulakukan dan menjadi pantangan bagiku.

Tidak ada komentar: