Dan bara tak kan terus berkobar, Jika tersentuh tirta kesejukan, Maka, terhempaslah kecamuk angkara, Tak kan mampu merasuk, dalam bening hati
Siang tadi, sehabis sholat jum’at, ketika saya berjalan menuju ke warnet, tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara benturan keras “brak”. Seorang pengendara motor jatuh tersungkur. Motor, lumayan hancur, sementara pengendaranya, seorang mahasiswa, hanya bisa mengerang kesakitan. Celananya robek terkena gesekan aspal dan darah bercucuran di kakinya.Namanya juga kecelakaan, kejadiannya tidak terduga dan terencana. Mahasiswa tadi menjelaskan kronologisnya, dia menyeruduk badan belakang truk karena truk tadi berhenti secara mendadak. Sementara, sang sopir truk menjelaskan bahwa mendadaknya berhenti karena ada motor juga didepannya, kalau tidak di rem, justru akan menabraknya dan dalam prediksinya, pasti akan parah. Maksud sopir truk memang baik, menghindari motor didepannya agar tak tertabrak, tapi tak disangka, justru ada sepeda motor lain dibelakangnya yang menyeruduknya. Agak lama keduanya bernegosiasi untuk mendapatkan solusi terbaik
Sementara saya yang menyaksikan kecelakaan itu memutar otak, bagaimana penyelesaiannya agar masing-masing tidak merasa dirugikan ?
Cukup dilematis, pikir saya. Saya tidak tega menyalahkan sang sopir, sementara saya juga kasihan kepada mahasiswa tadi, apalagi ketika dia bilang “Pak, ini gimana, soalnya bukan motor saya, ini motor pinjaman milik teman saya”. Di tengah kebuntuan, tiba-tiba ada salah satu orang yang juga menyaksikan kejadian itu menyeletuk dari belakang “Diselesaikan secara kekeluargaan saja”. Benar juga, akhirnya saya mengiyakan saja saran itu, diselesaikan secara kekeluargaan. Sopir truk kemudian memberikan uang Rp 100 ribu kepada mahasiswa tadi untuk memperbaiki motornya yang rusak, sementara mahasiswa tadi juga meminta maaf kepada sang sopir truk. Kasus kecelakaan selesai dan saya melanjutkan perjalanan ke warnet.
Di sepanjang jalan, saya merenung, hikmah apa dibalik kecelakaan ini.
Lantas, merenung juga, apa kunci kasus kecelakaan itu bisa diselesaikan secara damai dan kekeluargaan. Kemudian saya menemukan jawabnya. Kuncinya adalah tiada amarah. Ya, karena tidak ada amarah yang meluap-luap dari sang sopir atau mahasiswa tadi. Keduanya cukup legowo menerima kecelakaan yang tak terduga dan tak terencana itu. Sehingga, pada akhirnya, kasus kecelakaan bisa terselesaikan dengan baik tanpa melibatkan polisi yang biasanya justru akan rumit.
***
Kejadian itu berbeda dengan yang saya saksikan beberapa waktu yang lalu. Kasusnya sama, kecelakaan. Waktu itu, motor dengan motor. Seorang pemuda yang memboncengkan dua orang bertabrakan dengan seorang pedagang telur asin yang membawa barang dagangan di belakang motornya. Kejadianya di depan masjid kampus Nurul ‘Ulum Purwokerto.
Setelah bertabrakan, amarah yang muncul. Semua merasa menang sendiri, tidak ada yang mau mengaku salah. Bahkan, ketika ada seorang satpam kampus yang mencoba melerainya, malah kena bogem mentah dari salah satu mereka yang bertabrakan itu. Akhirnya, terjadi saling pukul dan terjadi perkelahian hebat antar mereka. Saya agak ngeri juga menyaksikan kejadian itu. Akhirnya, saya tinggalkan saja sebab sudah banyak orang yang mengerumuninya. Entah apa yang terjadi selanjutnya.
Dari kejadian ini, saya memetik sebuah hikmah dimana kemarahan selalu berujung kepada kondisi yang tidak baik. Berujung dendam dan pemusuhan. Bayangkan seandainya sang sopir dan mahasiswa yang tadi saya ceritakan diawal meluapkan amarahnya. Bisa jadi, kondisinya akan sama dengan peristiwa kecelakaan yang saya ceritakan di kasus kedua.
Kini, setelah saya menyadari hal ini, semoga saja saya dan kita semua bisa mengelola kemarahan agar tidak meluap keluar secara berlebihan, karena ujungnya selalu tidak baik.
Untuk itulah, kita bisa belajar atas kejadian itu agar dalam keadaan apapun, ketika ada yang tidak sesuai dengan hati kita, cobalah untuk bisa menahan amarah. Dengan begitu, kita bisa menghindarkan diri dari kerusakan, dendam, permusuhan, perselisihan dll yang muncul sesudahnya. Harapannya, setiap permasalahan yang kita hadapi bisa diselesaikan dengan kepala jernih sehingga akan baik hasil akhirnya.
Lebih dari itu, ketika kita berusaha untuk menahan amarah, kita juga bisa berharap atas janji Allah seperti dalam sebuah hadist yang bunyinya, “Barang siapa menahan amarahnya padahal ia sanggup melampiaskannya. Maka kelak Allah akan memanggilnya pada hari kiamat dihadapan makhluk sehingga ia diberi hak memilih bidadari yang disukainya” (HR Timidzi).
Bidadari….Ya Bidadari. Ingin sekali saya bisa mendapatkannya, bagaimana dengan Anda…?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar