Tegakkan Shalat dan Berjamaah!
Kalam Habib Hasan bin Sholeh al-Bahar al-Jufri
Sudah jamak dimengerti, shalat adalah pilar agama. Ia menyangga bangunan Islam kita. Kuat tidaknya iman sangat bertumpu padanya. Karena itu ia mesti dikokohkan. Jangan sampai rapuh atau keropos. Sebab agama kita menjadi taruhannya.
Sejatinya, tanpa shalat, seorang muslim seolah tak beridentitas. Akidahnya soak. Tak ada simpul pererat antara dirinya dengan Sang Tunggal. Ia diambang jurang kesyirikan. Sedikit saja taifun menerpa, ia dipastikan terjungkal ke dasar kegelapan yang tiada ujung pangkal.
Itulah cikal keprihatinan seorang Habib Hasan bin Sholeh bin Idrus al-Bahr al-Jufri, sosok besar abad ke-13 Hijriyah di lembah Hadramaut. Kala itu, dilihatnya sebagian muslimin mulai teledor dalam menjaga fardu lima waktu. Dalam seutas risalah wasiatnya kepada seorang pecinta ia menulis mukaddimah, “Kutorehkan wasiat ini ketika kulihat diriku dan orang-orang sekitarku terkesan mulai keberatan memelihara shalat lima waktu dan berjamaah, serta kian jarangnya orang-orang yang berlomba dalam berbuat baik dan ibadah.”
Sudah barang tentu, frasa “diriku” dan “orang-orang sekitarku” di atas bukanlah sebuah vonis. Itu hanyalah refleksi kerendahan hati. Habib Hasan al-Bahr adalah ulama besar yang telah mencapai taraf Qutub. Mana mungkin beliau meneledorkan shalat. Begitu pula orang-orang sekitar beliau yang nota bene murid-murid beliau semacam Habib Idrus bin Umar al-Habsyi. Penanda “keberatan memelihara shalat lima waktu dan berjamaah” tepatnya ditujukan kepada kita semua, manusia-manusia akhir zaman yang telah dikurung gemerlap dunia. Habib Hasan kemudian meneruskan tausiyahnya,
“Ketahuilah, sesungguhnya, musibah yang terdahsyat, kekejian yang tesesat, dan aib yang terhina, adalah mengabaikan shalat, melalaikan fardu Jumat dan jamaah. Bagaimana tidak, shalat adalah fasilitas yang dimediasi Allah SWT untuk mengangkat harkat manusia, meleburkan dosa-dosa mereka, dan mengunggulkan manusia atas makhluk-makhluk lain di muka bumi dan langit -Tapi, ia telah disia-siakan sendiri oleh manusia.”
“Tatkala seseorang mudah meninggalkan shalat, atau harta dunia memalingkan dirinya dari shalat, itu artinya ia telah digariskan menjadi manusia yang celaka. Takdir menetapkan dirinya bakal mengecap azab yang pedih tak terkira, kehidupannya akan terus merugi, malapetaka senantiasa merundungnya, dan pada akhirnya nanti penyesalan panjang bakal melingkupi hari-harinya.”
Nauzu billahi min zalik. Semoga kita tak tergolong manusia-manusia yang dinarasikan Habib Sholeh itu. Makhluk lemah semacam kita mana mungkin kuat menanggung siksa-siksa-Nya. Saat jari tertusuk jarum, kita meringis kesakitan. Bagaimana bila sebongkah gada yang besarnya memenuhi langit dan bumi meremukkan belulang kita?
“Tiada disangsikan, orang yang meninggalkan shalat sangat dibenci Allah. Dikhawatirkan ia mati tanpa memanggul iman. Neraka Jahim bersiap menyambutnya. Ia tecatat sebagai manusia yang dijauhkan dari rahmat-Nya. Bumi dan langit pun enggan menerima kehadirannya.”
“Manakala seseorang yang melalaikan shalat hendak mengunyah sesuap makanan, tanpa disadari, makanan di tangannya itu menyerukan jeritan-jeritan. “Semoga Kamu dijauhkan dari rahmat Allah, wahai musuh Allah. Kamu memakan rizki Allah, tapi Kamu enggan melaksanakan fardu-fardu-Nya.” Itu makanannya. Lalu tatkala ia beranjak keluar rumah, rumahnya itu mencibir lantang, “Rahmat Allah takkan menyertaimu. Kamu takkan menjejakkan kebaikan apa-apa. Pergilah! Mudah-mudahan kamu kembali dalam keadaan tidak selamat.”
Sebuah ulasan sarat hikmah dari Habib Hasan. Di dalamnya termuat ilmu-ilmu yang tak bisa dipahami sembarang orang: Makanan menjerit-jerit, rumah menghardik-hardik. Itu semua adalah ilmu rahasia yang hanya bisa dimiliki para auliya, kekasih Allah SWT.
Khusuk
Salah satu esensi shalat adalah khusuk. Penilaian diterima tidaknya suatu shalat diukur dengan kadar kekhusukan seseorang. Sayang, hal ini kurang diperhatikan. Dalam lanjutan wasiatnya, Habib Hasan bin Sholeh al-Bahr menjelaskan pentingnya khusuk dalam shalat.
“Jagalah shalat lima waktu dalam jama’ah. Jika di dekat rumahmu terdapat sebuah masjid, tunaikanlah di situ. Kemudian ingat, ketika kamu telah bertakbir memasuki shalat, kosongkanlah hatimu dari kerumitan-kerumitan dunia. Hadirkanlah hatimu. Bayangkan dirimu berdiri di hadapan Sang Wujud yang di genggaman-Nya kunci-kunci rizki. Pusatkanlah konsentrasimu kepada Allah SWT, sepenuhnya. Nikmatilah dialog ruhmu dengan Penciptamu. Jika tiba-tiba saja hatimu terbawa lupa, segeralah sadar. Berandailah, seumpama dirimu berbicara dengan seseorang, lalu kamu berpaling begitu saja tanpa permisi. Bukankah ia akan murka? Bagaimana bila kamu ajak bicara adalah Penguasa seluruh semesta. Betapa kurang ajarnya bila kamu tidak mengindahkannya. Shalat, sekali lagi, adalah wahana dialog antara makhluk dengan Allah subhanahu wata’ala.”
Kemudian Habib Sholeh menekankan pentingnya memperhatikan shalat orang-orang di sekitar kita.
“Lazimilah shalat. Raihlah fadilah awal waktu. Perintahkan anak-anak serta sanak keluargamu untuk menjaga shalat, begitu pula mereka yang berada dalam naunganmu, semisal pekerja dan pembantumu. Dengan shalat kamu akan beroleh ridha Allah SWT. Barang siapa memperoleh ridha Allah, berarti ia berhasil menggapai segala kebajikan.”
Mari kita laksanakan shalat. Tak banyak-banyak. Cukup lima waktu dalam sehari. Usia kita telah banyak tersia-siakan. Alangkah bijak bila kita sisihkan sebagian untuk investasi akhirat. Di sana kita butuh bekal banyak. Dengan persiapan morat-morat ini, peluang sukses kita sedikit. Tinggal satu yang kita harap: ampunan-Nya. Dan ampunan itu hanya kita dapatkan lewat shalat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar