Rezeki Besar Orang Bodoh
Waktu itu, hari Senin, pukul 07.30 WIB, saya dari Tanjungkarang berniat pergi ke Terminal Rajabasa, Bandar Lampung, untuk berjualan asongan. Ketika sedang menunggu angkot, tiba-tiba saya melihat sebuah dompet warna hitam tergeletak di tengah jalan. Beberapa sepeda motor dan mobil yang lewat telah melindas dompet itu. Karena, penasaran saya pun menghampiri dompet itu, tentu saja dengan bersusah payah karena lalu lintas pagi itu cukup padat dan beberapa pengendara sepeda motor banyak yang kebut-kebutan.Setelah berhasil mendapatkan dompet itu saya buru-buru membukanya. Dan, ternyata di dalamnya berisi uang lima puluh ribu rupiah, KTP, SIM, STNK, ATM BCA, kartu mahasiswa dan sebuah jimat berbentuk keris mini (semar mesem?). Ketika temuan itu saya ceritakan pasa salah seorang teman, ia pun tertawa girang. Ia meminta bagian lima ribu rupiah. Katanya, menurut cerita dari orang tua, jika ia menemukan uang di jalan maka harus berbagi rezeki dengan teman, sebagai ‘buang sial’ agar nantinya uang kita tidak hilang.
Mendengar itu saya hanya tersenyum. Sebaliknya saya ingin mencari alamat pemilik dompet itu sebagaimana tercantum di KTP, karena dompet itu bukan milik saya dan saya tidak berhak untuk mengambil uangnya.
”Bodoh betul kamu! Tuhan telah memberimu rezeki besar tanpa harus memeras keringat. Jika dompet itu kamu kembalikan paling-paling kamu dikasih uang sepuluh ribu rupiah. Itu pun kalau orangnya tidak pelit-pelit amat. Mendingan uangnya kamu ambil dan dompetnya buang. Dasar bodoh!” makinya sambil menunjuk-nunjuk.
”Niat saya hanya ingin mengembalikan dompet itu dengan ikhlas tanpa mengharap imbalan, karena itu bukan milik saya,” kata saya sambil berlalu dari hadapannya.
Keesokan harinya saya mencari alamat pemilik dompet itu dan dengan mudah dapat saya temukan. Saya mengetuk pintu sambil mengucap Assalamualaikum. Dengan ramah tuan rumah menjawab uluk salam dan mempersilakan saya masuk.
”Pak, Bu, maksud kedatangan saya kemari ingin mengembalikan dompet ini yang kemarin saya temukan di jalan,” kata saya membuka pembicaraan. Suami istri itu saling berpandangan sambil mengambil dompet yang saya letakkan di meja lalu memeriksa isinya.
”Memang benar ini dompet anak saya yang kemarin terjatuh waktu berangkat kuliah. Dia sudah mencarinya kemana-mana, bahkan sudah lapor polisi. Terima kasih, Nak, terima kasih!”
Mereka bergantian menyalami saya dan tangan saya pun diciumnya. Saya menjadi kikuk dan salah tingkah.
Kami mengobrol ke sana kemari ditemani secangkir teh manis dan kue kering, mulai dari soal politik sampai polah tingkah tukang copet di Terminal Rajabasa. Ketika saya berpamitan pulang, tiba-tiba tuan rumah menyelipkan amplop ke kantong baju saya sambil berbisik, ”Terimalah ini ala kadarnya dengan ikhlas, sabagai ungkapan rasa terima kasih kami.”
Sampai di rumah amplop itu saya buka. Alangkah terkejutnya saya mendapati isinya: uang dua ratus ribu rupiah! Hari itu juga saya menemui teman yang kemarin memaki-maki saya sebagai orang bodoh di terminal. Tanpa basa-basi saya masukkan ke kantong celananya selembar uang limapuluh ribu kemudian berlalu dari hadapannya. Ia berusaha menahan langkah saya.
”Ini uang buat saya?” tanyanya heran. ”Ya, buat kamu. Itu rezeki besar orang bodoh!” jawabku enteng. Ia tertawa ngakak sambil jingkrak-jingkrak dan menempelkan uang itu di jidat. Tobat… tobat!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar