Rabu, 19 Januari 2011

Umroh















1. Latar Belakang
Prinsip utama saya sejak beranjak dewasa sampai sebelum perjalanan umroh ini adalah: “Tak ada keajaiban”. Segala sesuatu harus masuk logika, masuk akal, dan jauh dari hal-hal yang tak masuk akal. Segala sesuatu mesti ada penjelasan ilmiahnya.
Oleh karena itu pandangan saya selalu mengacu kepada konsep hukum-hukum fisika, sosial, dan hukum psikologi. Tak ada kejadian yang pernah bisa melanggar hukum alam. Setiap pohon pisang akan berbuah pisang, setiap mahluk hidup mempunyai siklus biologi sesuai spesisnya, setiap apapun didunia ini tidak ada yang bisa lepas dari hukum absolut alam semesta. Takkan pernah ada cimpedak berbuah nangka kecuali dalam sajak. Takkan pernah ada orang kebal peluru. Takkan pernah ada keajaiban, keanehan, atau anomali hukum alam.
Sebelumnya saya hanya tertawa mendengar cerita-cerita keajaiban ataupun kejadian luar biasa yang kerap terjadi pada orang yang melakukan ibadah haji atau umroh di tanah suci. Mungkin itu hanya kebetulan, atau mungkin itu hanya bohong belaka. Sehingga kajian saya mengenai telaah agama islam, selalu mengacu kepada analisa, sentesa, konseptual, dan hipotesa. Pendeknya, tak ada alat yang saya miliki untuk telaah tersebut selain metode ilmiah, sampai saya dipaksa harus menyadari instrumen lain yang sesungguhnya ada dan tak pernah saya gunakan.
2. Perjalanan I: Jkt-Jeddah
Saya berangkat dengan apa adanya menuju Jeddah. Instruksi saya kepada secretaries yang membooking perjalanan untuk mengambil paket yang paling murah, paling singkat, dan paling efisien. Boleh dikata niat saya bukan untuk ibadah, tapi untuk sebuah hipotesa.
Diperjalanan, saya bertemu dengan seorang Haji yang telah beberapa kali berhaji dan berumroh, H. Tabrani (63), mantan walikota Jakarta Timur, kelahiran Aceh.
Kamipun terlibat diskusi dipesawat. Saya katakan bahwa saya datang ke Mekkah bukan untuk cari umur panjang, rejeki, kemakmuran, kekayaan, dsb. Saya katakana saya hanya ingin mencari petunjuk, hidayah bahwa Al-Qur’an adalah memang benar datangnya dari Allah dan bukan konsepnya Muhammad. Saya ingin tahu hipotesa saya benar atau salah.
H.Tabrani berkata, ” Insya Allah you akan dapat semua itu. Namun semua akan tergantung dari cara you memandangnya, apakah fenomena itu adalah sebuah petunjuk, atau hanya sebuah kebetulan “.
2.1. Kejadian 1
Beberapa saat setelah beliau bicara, tiba-tiba mesin pesawat mati satu. Penumpang pun diharap kembali ketempat duduk masing-masing dan memasang sabuk pengaman. Penerbangan baru berlangsung 45 menit. 5 menit kemudian kedua mesin Boeing 747 disayap kiri mati. Pilot pun memberitahukan bahwa pesawat harus kembali ke Airport Soekarno Hatta.
Kemudian pesawat mengalami turbulens yang menyeramkan disertai jeritan penumpang, sementara saya melihat kejendela pembuangan bahan bakar mulai dilakukan. Ini merupakan pemandangan yang sama sekali tidak menyenangkan.
Saat itu saya mulai takut dan berfikir tentang kematian. Berkali-kali saya terbang, baru kali ini mengalami kejadian yang demikian. Apakah tempat yang saya tuju memang luar biasa? Ataukah ini hanya kebetulan saja? Dengan sisa mesin dan kekuatan yang ada, pesawat terbang miring dan mendongak, sementara yang saya lihat dibawah hanya lautan lepas. Namun akhirnya pesawat dapat mendarat di Soekarno Hatta dengan selamat, diiringi beberapa mobil pemadam yang siap siaga.
Kami semua di inapkan di Horison Hotel-Ancol. Di Hotel diskusi saya dengan Bp H. Tabrani berlanjut.
Saya tanya ; Aca:” Pak Haji, kok susah bener ya mau ke Mekkah aja?”
“Baru kali ini saya saya naik pesawat kayak begini”
H. Tabrani: ” You kurang niat kali… ini khan bukan perjalanan biasa”.
Aca: Apanya yang luar biasa. Secara teknis tetap sama”
H. Tabrani: ” Wah…you boleh pilih, melihat ini sebagai sebuah Kebetulan, atau sebuah kebesaran Allah!”
Aca: ” Tapi Pak, kenapa kalau Allah mau kasih pelajaran Semua satu pesawat terkena getahnya, padahal khan Ada penumpang lain seperti Bapak yang sudah berniat bulat umroh tetapi juga batal “.
H. Tabrani: ” Andry…you khan tahu tidak semua penduduk Indonesia bobrok mentalnya, tetapi, jika Allah mau kasih pelajaran khusus hampir seluruh rakyat Indonesia terkena dampaknya”. ” Bisa jadi karena you dengan niat hipotesa atheis itu-kita semua satu pesawat terkena akibatnya”. “Coba dech.. you pikirin! “
Akhirnya saya mulai tafakur, mencoba untuk merendahkan hati, sholat isya’-dan membaca niat untuk umroh. Saya mulai membuka-buka buku-buku petunjuk menjalankan umroh. Walau saya jarang (hampir tidak pernah) berdo’a, saya baca-baca do’a nya.
2.2. Kejadian 2
Esoknya kami berangkat dengan pesawat lain. Dan ketika itu saya melonjak kegirangan, karena saya di up-grade ke first class. Waduh, enak juga, 10 jam terbang tanpa harus berdesakan dengan fasilitas lainnya yang tidak sama dengan economi.
Tiba-tiba H. Tabrani datang, ” Wah you koq disini?
” Aca: ” Alhamdulillah saya di up-grade Pak “
H. Tabrani: ” Waduh…enak benerrrr, you udah niat umroh? “
Aca: ” Udah Pak, semalam saya tafakur, berdo’a dan membaca niat “
H. Tabrani: “Bagus kalau begitu. You sekarang melihat kan Allah bisa memberikan imbalan kenikmatan secara Langsung “
Aca: “Loh tapi Pak Haji, ini khan petugas maskapai yang Ngatur!?”
H. Tabrani: ” Bukan! ini Allah yang ngatur, melalui tangan petugas”
Aca: ” Wah ini mungkin hanya kebetulan saja Pak!” ” Nggak masuk akal kalo Cuma karena niat, saya langsung diberi kenikmatan oleh Allah “.
H. Tabrani: ” OK… khan saya sudah bilang dari kemarin, semua terserah you saja, apakah you mau melihat dengan kacamata kebetulan, atau kacamata iman!”
H. Tabrani pun mulai sewot dengan saya. Entah karena nggak di up-grade atau karena sikap saya yang dianggapnya wangkeng.
2.3. Kejadian 3
Dipesawat, saya dikenalkan oleh pramugari kepada 2 orang penumpang yang menekuni manajemen pikiran. Dian, pramugari yang sebelumnya terlibat diskusi agama dengan saya dan H. Tabrani, menyarankan agar masalah saya diungkapkan kepada mereka. Kamipun berkenalan, seorang bernama Nur Cahyo, seorang lagi bernama Kartiko (mungkin muridnya).
Saya jelaskan permasalahan utama saya. Akhirnya ia menjelaskan, ” Saudara Andry, selama ini saya tahu anda telah banyak berupaya, namun upaya itu belum optimum. Apa sebab-karena saudara hanya menggunakan sebahagian yakni bagian kiri saja dari otak saudara “.
“Karena otak, mempunyai 2 belahan, belahan kiri yang fungsinya untuk menganalisa, kalkulasi, logika, konsentrasi, hipotesa, dsb, dan belahan kanan yang berfungsi mencerna keindahan, emosi, seni (spt musik), euphoria, keimanan, dan sebagainya. Kedua belahan otak tersebut harus saudara gunakan. Wajar kalau saudara hanya mengandalkan analisa dan mendewakan sirkuit logika”.
“Ada daerah kekuasaan Tuhan yang tidak dapat dianalisa dan didiskusikan. Daerah tersebut hanya dapat dicerna oleh perasaan yang kita sebut iman”. “Loh…itu khan basic prinsip Quantum Learning, saya tahu benar itu”, kilah saya. “Betul…bagus kalau anda tahu, tapi pernahkah anda terapkan dalam pencarian ini?”.
Saya mulai bingung dengan pertanyaan Kartiko. Saya tahu benar ilmu itu, karena saya sering jadi pembicara tentang metode belajar dan bekerja menggunakan keseimbangan otak kiri-kanan. Kepala saya seperti dipentung oleh senjata saya sendiri.
Kartiko melanjutkan, “Jika yang saudara cari adalah petunjuk, ia dapat berupa ilham, mimpi, atau fenomena dan kejadian-kejadian yang tak masuk akal. Saudara tak akan bisa menelaah semua itu nanti di perjalanan dengan otak kiri (analisa) saja. Hasilnya akan saudara pisah-pisah dan terlihat tidak berkaitan satu sama lain. Namun apabila saudara gunakan juga otak kanan (intuisi/rasa/iman), hasilnya akan sangat menakjubkan”.
H. Tabrani pun ikut terlibat diskusi, dan ia banyak membenarkan perkataan Kartiko. Sebelum Kartiko kembali ke kursi duduknya, saya bertanya kepadanya, “Anda kuliah dimana?”.
Kartikopun menjawab “Politeknik Mekanik Swiss”.
“Astaga, angkatan berapa?”. “Angkatan 88″, jawabnya.
Akhirnya, kami pun bertambah mesra. Saya mulai menarik hipotesa dengan kedua belahan otak saya;

  1. Apakah instrumen ini berguna (telaah menggunakan kedua belahan otak) untuk pencarian saya?
  2. Kenapa saya tak pernah menggunakannya, padahal saya tahu dan gandrung dengan ilmu itu?
  3. Apakah ia hanya seorang kenalan di pesawat, ataukah sebuah petunjuk agar saya menggunakan instrumen itu dalam perjalanan sekarang dan nanti?
  4. Apakah pertemuan kami ini hanya sebuah kebetulan?
  5. Apakah Kartiko juga seorang yang kebetulan berlatar belakang pendidikan sama dengan saya sehingga jalan berfikir kami sepertinya klop!?
Saya kembali membahas ini dengan H. Tabrani. Beliau seperti biasa sambil sewot, “Terserah you mau lihat dari kacamata kebetulan a/ kacamata kebesaran Allah!”.
Sayapun mulai tak percaya dengan diri saya. Saya mulai goyah dengan pandangan saya selama ini.
2.4. Kejadian 4
Akhirnya kami pun tiba di Jeddah, yang kemudian perjalanan disambung ke Madinah. Malam hari kita berangkat sholat Isya’ ke Masjid Nabawi. Disini Rasululloh di makamkan, jelas H. Tabrani.
“Kok kuburan di Masjid Pak Haji, nggak bener itu!”
“Wah you ini mau sholat apa nggak!”. “You khan bisa sholat karena orang yang dimakamkan disini!”.
Tanpa banyak bantah saya ikuti ajakannya sholat diluar (halaman) Masjid (karena larut, pintu masuk sudah ditutup). Saya sholat tepat disamping pintu makam Rasululloh, sedang H. Tabrani sholat 5 meter didepan saya.
Tiba-tiba, baru saja saya takbiratul ihrom, pintu disamping saya berdebum. Sayup-sayup berdebum. Seperti suara orang kerja. Tapi lebih mirip suara orang marah-marah membanting meja atau kursi.
Tiba-tiba perasaan takut saya datang. Akhirnya saya batalkan sholat saya, pindah menjauhi makam Rasululloh. Makam orang yang saya pikir pembuat Al-Qur’an. Dan saya mulai dihantui pemikiran tersebut. Sholat saya sudah nggak bisa khusuk lagi.
“Andry…kamu kenapa pindah sholatnya?”, tanya H. Tabrani.
“Nggak tahu tuh Pak, ada suara berisik dipintu, sepertinya pintu itu mau dibuka orang “, jawab saya.
“Suara berisik apa “.
“Loh Pak Haji nggak denger barusan “
“Enggak ah…, Iqbal…kamu dengar suara?” “Enggak Pak…”
Perasaan saya mulai nggak karuan. Rasa takut dicampur rasa bersalah. Saya coba analisa pakai belahan kiri, bahwa mungkin posisi saya yang tegak lurus dengan pintu menyebabkan saya bisa dengar, namun mereka karena tidak tegak lurus, mereka tak bisa mendengar. Tapi harusnya juga dengar. Mustahil tidak, karena suara itu keras koq.
Akhirnya saya ceritakan ke H. Tabrani tentang perasaan kacau saya. Saya ceritakan bahwa saya pernah menulis e-mail yang berpendapat apakah semua ini bisa-bisa nya Muhammad. Kala itu saya tetap menyangsikan kronologi turunnya wahyu. Hingga saya mensejajarkan posisi Muhammad dengan Napoleon, Karl Marx, Einstein, Aristoteles, Plato, dan pemikir besar dunia lainnya.
“Wah…kalau you udah sadar itu salah, you mesti minta maaf besok didalam Masjid, tepat disamping makamnya kalau bisa “, kilah H. Tabrani.
Esok hari, pagi-pagi sekali kami bangun, berangkat menuju Masjid Nabawi. Masjid besar dengan halaman yang juga besar. Dengan terhuyung sambil ngantuk (karena nggak biasa bangun dan sholat shubuh) saya berjalan menyusuri halaman Masjid seperti menyusuri 2 kali panjang lapangan bola. Seluruh lantainya ditutupi Pualam putih.
Setelah melewati pintu utama, saya berjalan memasuki ruang dalam Masjid area perluasan King Fadh. Saking besarnya, pandangan lepas kita tak dapat melihat ujung Masjid lainnya. Lantai, dinding dan Tiang ditutupi marmer yang di polish licin. Setiap tiang terdapat lubang AC yang dapat mengatur suhu ruangan otomatis.
Kami terus berjalan menuju Raudah (batas bangunan asli Masjid yang dibangun Muhammad) melewati area perluasan King Azis. Antara perluasan King Fadh dan King Azis terdapat Kubah yang dapat terbuka dan tertutup otomatis. Sempat terfikir oleh saya, betapa besar biaya yang diperlukan untuk ini semua.
Namun saya coba tahan pemikiran negatif itu dan menggantikannya dengan fikiran betapa besar pengaruh Muhammad sampai sekarang hingga dapat terwujud Masjid sebesar dan seagung ini.
Kamipun hampir mencapai Raudhah, namun tak bisa masuk karena penuhnya. Setelah sholat Shubuh, saya dianjurkan H. Tabrani untuk berdo’a di area Raudhah.
“Kenapa …?”, tanya saya.
“Berdoa disana Insya Allah lebih amat makbul (dijawab oleh Allah terhadap permintaan doa kita).
Sempat terbesit pertanyaan saya, apakah doa orang yang berdoa di Masjid Dago Atas tidak makbul? Namun saya mulai menahan diri terhadap pemikiran dan pertanyaan model itu.
Setelah berdoa, kamipun berdesakan keluar melalui Pintu Jibril, pintu yang melewati tepat muka makam Rasululloh. Saya ambil barisan paling kiri, barisan yang paling dekat dengan sisi makam. Kami berjalan berdesakan, perlahan, penuh sesak namun sangat tertib. Dari kejauhan saya melihat pagar makam yang didalamnya gelap tak ada cahaya. Dalam antrian perlahan saya mendekati makam. Di dalam pagar terlihat tiga makam yang ditutupi kain. Saya tak tahu yang mana Makam Rasululloh, yang mana makam Abu Bakar, dan yang mana makam Khadijah, isteri Nabi.
2.5. Kejadian 5
Disepanjang makam berdiri 4 orang tua dengan badan tinggi bersorban yang selalu menepis tangan orang yang mencoba memegang pagar dengan meratap.
“Musyrik!!!”, hardiknya.
Mereka senantiasa menjaga perilaku setiap orang yang mencoba ziarah dengan kelakuan aneh. Disini saya mulai mengerti arti Islam sebagai agama Tauhid. Agama yang ber-illah hanya dan hanya kepada Allah. Tiada kepada yang lain, tiada pula kepada para Nabinya. Nabi hanya sebagai pembawa RisalahNYA, MandatarisNYA, dan bukan tempat untuk meminta atau berdo ‘a. Nabi juga bukanlah anakNYA, karena beranak pinak adalah perilaku ciptaaNYA dan bukan salah satu sifatNYA/perilakuNYA. Musyrik atau Syirik, mensyarikatkan Allah dengan sesuatu lainnya adalah satu-satunya perbuatan dosa yang tidak pernah diampuni Allah.
Bukan maksud saya menyindir, tapi sering kali orang melakukan “HUMANISASI”. Imajinasi bentuk alien (mahluk luar angkasa) tak pernah jauh lari dari bentuk manusia, berbadan, berkepala, bertangan dan berkaki. Film-film kartun Hollywood, selalu menampilkan bentuk perilaku binatang yang bertingkah polah bagai manusia, dan berbentuk fisik yang sudah dirobah menjadi mirip manusia.
Dongeng-dongeng binatang buku cerita untuk anak kecil juga demikian. Robot sekarang dan masa datang, mengambil analogi kerja tubuh dan bentuk badan manusia.
Sampai-sampai Tuhan atau Dewa-dewa yang digambarkannya pun mirip bentuk manusia. Adapula yang menganalogikan perilaku Tuhannya seperti manusia dengan perilaku beranak pinak. Disini saya merasa mendapat petunjuk, bahwa Muhammad NabiNYA, bukan anakNYA, bukan tempat meminta.
Ketika saya tiba persis dimuka makam, seseorang dengan suara yang berat dibelakang saya berkata perlahan. Tidak keras namun tidak berbisik. Kedua tangannya memegang pundak saya dari belakang. Ia berkata dalam bahasa Arab, ” Ya Rasululloh…ini aku, aku datang kepadamu, bukan untuk meminta sesuatu yang lain.
Aku hanya ingin meminta maaf kepadamu ya Habiballoh. Aku hanya mengagumimu namun aku tak pernah memujimu. Aku fikir aku telah menempatkanmu pada posisi yang tinggi, namun ternyata engkau lebih mulia dari itu. Aku tidak mencela engkau namun aku sadar aku telah melecehkan engkau. Aku minta maaf ya Rasululloh”.
Pembaca, saya dapat mengerti hampir seluruh ucapannya dalam bahasa Arab itu, namun saya belum pernah belajar Nahu sorob atau bahasa Arab! Saya jadi bingung sendiri. Saya lihat dipundak saya salah satu tangannya yang memegang pundak saya dari belakang, besar sekali dan hitam legam. Waktu saya menolah kebelakang, orang tersebut seperti dari Afrika, tinggi luar biasa, hitam legam.
Ia mengucapkannya sambil merintih menahan tangis. Rasa haru, menyesal luar biasa, dan sedikit ketakutan pun menyelimuti saya. Saya tak ucapkan kata apapun. Semua yang akan saya ucapkan telah diucapkan orang dibelakang saya dalam bahasa Arab yang saya tiba-tiba mengertinya.
Keluar pintu Jibril, saya menunduk menahan tangis dan haru, agar tak terlihat H. Tabrani dan Iqbal puteranya. H. Tabrani tahu itu. Merekapun mempercepat langkah agar tetap didepan saya. Saya coba cari orang tinggi besar hitam tadi. Mungkin karena ramai kerumunan, saya tak dapat menemukannya.
Sesampai di Hotel, kamipun mendiskusikannya. Terutama tentang dapat mengertinya saya terhadap ucapan dalam bahasa Arab.
Saya bilang: “Mungkin begini Pak, karena saya dihantui rasa bersalah,dan memang saya akan berkata minta maaf, maka persepsi saya terhadap apa yang diucapkan orang tadi adalah persepsi fikiran saya”.
H. Tabrani: “Itu mungkin. Mungkin saja. Tapi mungkin juga petunjuk, bahwa beliau (Rasululloh) tahu benar isi hati anda, dan beliau dengan akhlaknya yang mulia sudah memaafkan you tentunya”.
Aca: ” Ah masak sich Pak. Sedemikian mudah dan cepatnya saya mendapat petunjuk “
H. Tabrani: ” Temen you dan saya khan sudah berkali-kali mengatakan, semua itu terserah you saja. Apakah you mau anggap itu semua kebetulan atau sebuah petunjuk. Berkali-kali saya mengatakan-terserah you saja!”
Saya mulai tak banyak membantah. Saya benar-benar mulai berfikir, bahwa tak ada yang namanya kebetulan. Semua sudah ada aturannya, semua sudah ada sebab akibatnya. Ada sebuah “hukum sebab-akibat” yang berlaku absolut dialam semesta ini. Hukum Sebab-Akibat itu diatas hukum-hukum lainnya. Juga diatas hukum fisika, sosial, maupun psikologi yang saya anut selama ini.
Saya mulai meyakini ini sebagai Hukum Sunatulloh, dan bukan hokum psikologi. Bukan efek kebetulan karena rasa bersalah. Bukan efek kebetulan kondisional akibat suasana yang khusuk, sakral atau magic/angker. Melainkan hukum Sunatulloh kepada orang yang mencari ridhoNYA, orang yang mencari jalan yang diridhoNYA. Namun saya tak berani berfikir bahwa saya sudah berada pada jalan yang benar, dalam “The right track”. Namun yang jelas, saya mulai lebih berhati-hati dan tidak gegabah.
3. Perjalanan di Madinnah
Setelah melewati waktu Zuhur, kami melakukan City Tour, ketempat-tempat bersejarah antara lain, Masjid Kuba-Masjid pertama di Madinnah yang dibuat Rasululloh. Masjid Kiblat-Masjid dimana ditengah sholat Rasululloh mendapatkan wahyu untuk sholat menghadap Ka’bah/Mekkah, yang sebelumnya menghadap Masjidil Aqso’, sehingga sholat tersebut beliau lakukan 2 roka’at menghadap Masjidil Aqso’ dan 2 roka’at sisanya menghadap Ka’bah. Karena kasus ini orang Kafir Quraisy berkomentar Muhammad pemimpin yang plin-plan.
Dibimbing oleh Tour Guide, kami berkunjung ke Jabal Uhud, tempat di mana terjadi Perang Uhud. Terlintas dibenak saya cuplikan film “The Massage” di mana Hamzah, Panglima perang kaum Mukmin yang dibunuh dengan tombak oleh salah seorang budak suruhan Hindun, isteri Abu Sofyan, pemimpin kaum kafir Quraisy yang sangat memusuhi Nabi. Pada peperangan tersebut kaum Muslimin kalah yang disebabkan tindakan indisipliner pasukan panah.
Kami juga mengunjungi makam Fatimah, dimana dekat makam dahulunya terdapat parit besar yang dikenal sebagai Perang Khandak. Perang dimana pada saat itu kaum kafir dari berbagai bangsa dan negara memboikot dan meng-embargo kaum muslim selama kurang lebih 2 tahun, dimana sekeliling Madinnah pada saat itu dibuat Parit besar yang memisahkan/melindunginya. Disini saya melihat bahwa perjuangan Rasulloh adalah bertahan dan bukan menyerang. Konsep yang diajukan Rasululloh adalh sebuah konsep dimana penguasa kafir tidak menyukainya. Konsep tersebut hanya mendapat tanggapan dari kaum Anshor yang bertempat tinggal di Madinnah hingga Nabi harus hijrah/pindah kesana.
Saya akhirnya bertanya kepada Tour Guide, bagaimana dengan tindakan Nabi yang saya anggap ekspansi nekat yakni tindakan Nabi mengirim surat dari Madinnah kepada Mekkah, Mesir, Roma, Persia, Abesinia, dan Negos (Ethiopia).
Madinnah tidak sebesar dan sekuat Mekkah, namun tindakan Nabi mengirim surat kepada Negara-negara tersebut adalah nekat (kalau tidak mau dibilanggila). Analoginya mungkin seperti Vietnam, negara kecil yang baru berdiri, tanpa angkatan bersenjata yang jelas, mengirim pesan kepada Indonesia, Australia, Amerika, Rusia, dan European Community untuk takluk dan tunduk dibawah kekuasaanya.
“Oh tidak, ini tidak seperti demikian “, jawab Tour Guide. “Urusan Rasululloh bukan urusan kekuasaan. Konsep Rasululloh bukan konsep negara, sehingga surat yang dibuat bukan surat kekuasaan . Surat itu berisikan ajakan beragama Islam. Konsep Rasululloh adalah konsep agama, bukan konsep pemerintahan”.
“Lho, kalau bukan urusan kekuasaan, bagaimana dengan Daulat Bani Umayah, kepemimpinan Islam setelah Ali, yang ekspansi kekuasaanya dengan cepat dan pesat sampai ke Cordova, Spanyol, daratan China, dan berbagai belahan dunia lain, sehingga Islam tidak hanya bicara didalam Masjid, namun juga dipemerintahan, dimasyarakat, hingga berlaku hukum yang hanya kita dengar sekarang secara sayup-sayup ‘hukum Islam’? Bagaimana kita memberlakukan sebuah peraturan tanpa adanya kedaulatan? Bagaimana kita bicara rajam bagi yang berzinah, sementara lokalisasi pelacuran mendapat izin dari pemerintahan Pemda setempat? Bagaimana memberlakukan hukum Islam tanpa pemerintahan Islam? “, demikian saya bertanya.
Tour Guide tersebut tak dapat melanjutkan penjelasannya. Sayapun menjelaskan, “Mas Syaiful…saya mohon maaf loh, saya dalam pencarian, saya bukan sok tahu, tapi saya memang benar-benar tidak tahu, dan saya benar-benar ingin tahu, kayak apa sich konsep Rasululloh yang disampaikan pada saat itu?”.
Tour Guide: “Baiklah, anda silahkan tanya kepada orang yang lebih tahu, saya terus terang belum tahu benar untuk hal ini “.
Aca: “Terimakasih Mas…saya akan simpan pertanyaan ini”.
Beberapa orang mungkin beranggapan ini tidak penting, namun saya berfikir bahwa ini sangat penting. Dalam pencarian / perjalanan ini saya tak menemukan jawaban, namun saya yakin insya Alloh, suatu saat, dalam pencarian saya yang berikutnya, saya dapat menemukan jawabannya…Amien.
3.1. Kejadian 6
Setelah sholat Ashar, akhirnya kamipun bersiap-siap untuk ber-umroh. Pak H. Tabrani mengajarkan saya untuk memakai pakaian Ihrom. Ia menjelaskan untuk memakai pakaian Ihrom, 2 lembar kain yang dililit dipinggang, satunya lagi di bahu.
“Latihan pakai kain kafan “, demikian penjelasannya. Meskipun ia bukan Tourist Guide, namun ia begitu telaten mengajarkannya pada saya. Meskipun kadang-kadang menghardik saya, seperti waktu saya tanya kenapa koq nggak boleh pakai celana dalam. Ia hanya menjawab “Jangan didebat!!! ini daerah otak kanan! “. Untung saya sudah rada kalem sekarang karena beberapa kali mengalami peristiwa2 yang lalu, kalau tidak, mungkin sewotnya H. Tabrani berkelanjutan.
Setelah mengambil niat di Miqod, diperjalanan kami mulai membaca Talbiah: Labbaik Allohumma labbaik Labbaik Lasyarika laka labbaik Innal hamda, Wal nikmata, Laka wal mulk La syarikalak
Ya Allah, aku datang memenuhi panggilanmu Tiada syarikat bagimu. Sesungguhnya segala puji, segala nikmat, dan segala kuasa Hanyalah dari engkau. Tiada syarikat bagimu. Pembacaan Talbiah baik di pesawat maupun diperjalanan/bus, sangat diliputi rasa haru yang luar biasa.
Kamipun tiba di Mekkah, kota Haram. Hotel kami cukup dekat dengan Masjidil Haram. Sementara barang-barang diurus oleh petugas travel, kami berwudhu di Hotel, kami langsung memasuki Masjidil Haram, sebuah Masjid yang paling terkenal yang mungkin paling tua didunia. Saat itu saya belum merasakan pesonanya.
Namun setelah melepas sandal dan memasuki Masjid, saya terdiam melihat benda hitam pekat persegi empat yang berada ditengah-tengah Masjid. Ka’bah ternyata berukuran lebih besar dari perkiraan saya. Saya menahan tangis didepan rombongan tapi tak kuasa. Dengkul saya lemas luar biasa. Sulit sekali menggambarkan pesonanya. Saya kurang tahu persis pada saat itu tapi saya percaya Iqbal, anak Pak H. Tabrani yang pertama kali Umroh juga terdiam tak bersuara tak bergerak. Ia juga mengalami hal yang sama.
Saya lemas dan duduk. Saya berusaha perlahan-lahan bergerak mendekat, namun semakin dekat, semakin tak kuasa menahan tangis. Akhirnya saya mulai meraung seperti anak kecil. Saya menangis sambil duduk tidak mengerti kenapa. Dan saya tahu persis saat itu saya tidak sedih.
Benda itu berada ditengah-tengah Masjid, besar, besar sekali. Hitam pekat sekali. Benar-benar saya tak mengira bahwa Ka’bah berukuran sebesar itu. Saya tidak pernah berfikiran bahwa di dalamnya ada Allah sedang bersemayam. Sepintas hanya sebuah batu yang disusun dan dilapis kain hitam. Namun saya melihat sedemikian banyaknya manusia mengitarinya melakukan yang disebut tawaf. Bukankah ini bukti dari hasil kerja Muhammad.
Analisa saya bermain, apakah sekian banyaknya manusia datang kesini hanya ditipu satu orang yang bernama Muhammad. Namun intuisi saya juga bermain, bahwa kegiatan ini pasti bukan baru dimulai kemarin. Kegiatan ini dilakukan pasti sejak ajaran Muhammad. Pendapat ini adalah pendapat awal saya yang kemudian di konfirmasikan beberapa hari kemudian oleh H. Tabrani bahwa kegiatan ini sudah ada bahkan sejak milata Ibrahim, bapak besar berbagai bangsa yang melahirkan agama Yahudi, Nasrani (bukan Kristen), yang kemudian juga Islam.
Saya mulai tawaf putaran pertama. Sambil air mata bercucuran (tanpa malu-malu lagi sebab kanan kiri sayapun demikian) saya dibimbing H. Tabrani membaca do’a-do’a putaran pertama. Posisi kami sangat dekat dengan Ka’bah dan senantiasa saya semakin merapat kedalam. Kami merasa seperti memasuki sebuah gravitasi luar biasa yang menarik ketengah. Seolah kami bergerak perlahan bersama tanpa menginjak bumi (seperti melayang), semakin rapat dan semakin pekat ketengah. Kita tak kuasa menentukan arah (kecuali sedikit), kita hanya dapat berserah diri mengikuti arus putaran itu. Sambil memegang buku do’a kecil, saya coba baca juga artinya. Disitu terdapat do’a permintaan umur panjang dan keturunan yang banyak serta soleh. Saya tanya ke H. Tabrani, ” Loh Pak…kok ada permintaan seperti ini ya…?. H. Tabrani menjawab, “Ya memang ada, khan saya sudah katakan boleh minta apa saja”.
Pada tawaf putaran kedua, saya kembali membaca do’a khusus untuk putaran kedua-sambil juga melihat artinya. Agak sulit memang karena banyak jama’ah Iran berbadan besar berdo’a lantang sekali. Kadang saya tak mendengar suara H. Tabrani sehingga sulit mengikuti apa yang didiktenya. Kembali saya lihat artinya, ” Loh…Pak, koq disini ada permintaan terhadap rezeki yang banyak”. H. Tabrani pun kembali menjawab, ” Ya memang boleh. Anda saja yang Cuma minta petunjuk dan nggak mau minta yang lain. Minta harta boleh…habis -kalau tidak-anda mau minta ke siapa lagi kalau bukan sama Dia “.
Pada tawaf putaran ketiga, saya kembali membaca do’a sambil membaca artinya. Terdapat dengan jelas disitu “Tijarotan Lantabur ” yang artinya “perdagangan yang jauh dari rugi”. Saya kembali bertanya dengan lebih antusias karena masalahnya erat dengan kehidupan saya yang memang bergerak di bidang ini. “Loh-loh…ini lebih aneh lagi Pak…kok boleh minta dagang agar jauh dari rugi, ini khan urusan dunia. Bagaimana kita bisa rugi-ya karena manajemen yang buruk, sedangkan bagaimana kita bisa untung? Ya dengan manajemen yang baik? “. Akhirnya H. Tabrani mulai sewot lagi, ” You khan bilang waktu dipesawat, bahwa you hanya minta petunjuk, betul ndak…?” “Betul Pak “, jawab saya. ” OK kalau begitu nggak usah do’a saja …” , tegas H. Tabrani.
Analisa dan intuisi saya jalan lagi, dan tiba-tiba saya teringat surat Al-Fatihah, ayat 4, “Iyya ka na’ budu wa iyya ka’ nastaiyn”. Kepadamulah kami menyembah dan hanya kepadamulah kami minta pertolongan. Saya fikir ini harus berlaku pada semua hal-segala hal  segala sesuatu-termasuk hal-hal duniawi seperti bisnis. Sehingga musyrik hukumnya jika kita meminta pertolongan dalam bidang bisnis kepada Kadin, Pemda, Katabelece Pejabat untuk menggoalkan proyek kita. Haram hukumnya meminta pertolongan kepada Bagian Purchasing untuk melakukan bisnis dengan kita.
Permintaan tolong hanyalah kepada Allah semata. Adapun, Kadin, Pemda, Pejabat, dan bag Purchasing, hanyalah perantara. Hal ini jangan dianggap sepele, karena ini yang akan menentukan strategi manajemen perusahaan kita, apakah kita akan melakukan KKN atau melakukannya dengan pendekatan lain.
Akhirnya dengan pemahaman yang seperti ini, saya kembali berdo’a dengan segala kerendahan hati. Meminta kepada yang mempunyai, memohon kepada pemilik yang sesungguhnya, meminta kepada Penguasa yang sesungguhnya, penguasa segala sesuatu, penguasa absolut. Statemen awal saya di pesawat, sekarang terbantai semua. Saya ternyata tak hanya meminta pertunjuk, tetapi saya-dengan kesadaran baru ini-juga meminta duniawi.
Demikian saya melihat Rahman rohim Allah. Jika kita meminta dunia saja, Allah mungkin saja berikan, dan mungkin juga tidak. Namun jika kita meminta keridhoan akhirat-insya Allah kita juga akan mendapat dunia. Persis lagu Bimbo yang dinyanyikan Sam. Persis juga sama dengan do’a-do’a di akhir tawaf yakni fiddunia hasanah-wa fil akhiroti khasanah. Saya pun kembali berdo’a dengan lebih khusuk, dengan kesadaran baru-tanpa banyak pertanyaan lagi.
3.2. Kejadian 7
Usai tawaf, kami menuju sumur zam-zam yang terletak didalam areal masjidil Haram bagian bawah. Disini saya kembali tercengang. Sebuah mata air yang hampir tak mungkin ada di daerah ini. Mekkah dapat anda lihat sebagai pegunungan batu. Masjidil Haram berada di tengah-tengah seperti lembah, sekelilingnya dapat anda temukan hanyalah bukit batu yang sangat sulit dihancurkan. Ini pula yang menyebabkan pembangunan konstruksi di kota Mekkah sangat lamban. Jangankan tumbuhan subur, kurma pun malas tumbuh disini. Ironisnya, terdapat air sumur zam-zam yang debitnya luar biasa besar yang dipompa dengan pipa-pipa sampai ke Madinah, Jeddah, Yaman, dan daerah lainnya selain untuk keperluan orang ber Hajji. Berjuta-juta orang datang setiap harinya, namun sumur ini tak pernah ada keringnya. Analisa dan rasa saya mulai jalan. Andaikan memang ada sungai bawah tanah yang mengalir dibawah Mekkah, akankah bertahan sedemikian lamanya? Perhitungannya bukan 1400 tahun yang lalu, melainkan perhitungan dari Ibrahim. Entah berapa ribu tahun. Karena sungai bawah tanah dapat berubah alirannya hanya dalam kurun waktu puluhan tahun saja. Namun sumur zam-zam ini tak pernah kering dan senantiasa menyediakan air yang dibutuhkan Jamaah yang datang ke sini. Seolah olah ia ada memang untuk kebutuhan ibadah ini. Saat itu tak ada lagi dibenak saya teori kebetulan yang dahulu.
Pada saat Sya’i, rukun Umroh berikutnya, saya melihat manusia banyak yang berjalan, sebahagian berlari, antara dua bukit batu, Syofa’ dan Marwah. Dipisahkan oleh pembatas tengah, kami mulai melintasi area Sya’i. Sesekali saya melihat wajah cantik wanita Turki dengan hidung mancung kulit putih bulu mata boros (Saat tawaf maupun Sya’i dilarang menutup cadar muka-namun ada sebahagian mazhab na, namun saya mengira pasti luar biasa untuk ukuran orang Melayu. Agak lama baru saya sadar bahwa saya mulai kurang khusyuk karena melakukan “olah raga leher”.
Akhirnya saya bertanya kepada H. Tabrani, ” Pak…koq pakai lari-lari segala sich? “. “Begini “- jawabnya perlahan, “Dulu sewaktu Siti Khajar, isteri Nabi Ibrohim, ia berjalan sambil berlari-lari kecil mencari air antara bukit Syofa’ dan bukit Marwah, sementara anaknya Ismail ditinggal sejarak tertentu dari Ka’bah. Air yang dilihatnya ternyata hanyalah fatamorgana. Sedangkan air yang sesungguhnya justru keluar didekat kaki Ismail.
Dari sini saya pun semakin yakin dan menarik kesimpulan, bahwa Ka’bah bukan dibangun oleh Muhammad, melainkan Nabi Ibrohim, pendahulu untuk Musa, Isya, dan Muhammad, yang melahirkan 3 agama besar, Yahudi, Nasrani, dan Islam.
Seusai Sya’i kami pun menggunting rambut, pertanda selesainya ibadah Umroh kita. Semoga Makbul.
Sesampai di Hotel, kelelahan kami luar biasa. Kaki saya kering pecah-pecah. Saya belum pernah merasakan pegal-pegal seperti sekarang ini. Saya fikir, bagaimana dengan kaum wanita atau Ibu-ibu. Pasti lebih capek. Tapi kelihatannya sama aja tuch.
Salah seorang jamaah haji wanita bercerita tentang anak temannya yang sekarang tinggal di Hotel Hilton Mekkah yang tak dapat menyelesaikan tawafnya karena mencret (penyakit yang lebih cepat dari pada jet). Kotoran alias tokai nya sedemikian banyaknya sehingga ia pun kewalahan. Wueeek…sangat menjijikkan kata jamaah yang lain menambahkan. Kepala rombongannya pun membawanya pulang kembali ke Hotel. Kami tak tahu bagaiman ia mengatasi problem mencretnya yang merembes sampai pakaian Ihrom, namun akhirnya semua tahu, bahwa ia mengenakan celana dalam pada pakaian ihromnya. Sesuatu yang dilarang dalam Umroh. Saya jadi teringat sewaktu H. Tabrani membentak saya dalam masalah tersebut. Pantas – dalam hati saya.
3.3. Kejadian 8
Tak ada yang khusus bagi saya dalam kejadian ini. Kejadian ini terjadi pada saat saya hendak mencium batu Ka’bah. Disitu terjadi antrean yang luar biasa. Didepan saya terdapat seorang wanita muda dan cantik berpakaian Turki yang hendak mencium batu Ka’bah (sisi kiri Ka’bah, bukan Hajarul Aswad). Mungkin karena pemikiran jijiknya terhadap batu yang sudah dicium oleh jutaan manusia pada hari itu, maka ia mengeluarkan tisu, mengelap, dan menggosok bagian yang hendak diciumnya. Melihat kejadian itu, Bapak mertua saya pernah menceritakan perihal yang seperti ini berkaitan dengan gelas stainless air zam-zam untuk diminum yang menempel pada setiap keran zam-zam.
Seorang Dokter, kawan Bapak mertua saya pergi Haji, merasa jijik dan mengatakannya kepada Bapak mertua saya perihal gelas stainless yang sudah diminum berjuta-juta mulut orang. Ini tidak steril katanya. Dokter itu meminum juga air zam-zam dengan perasaan jijik/geli. Keesokannya, apa yang terjadi. Mulutnya bengkak sariawan sampai ke leher. Bapak mertua saya mengingatkan akan ucapannya kemarin perihal gelas tersebut. Bapak mertua mengingatkan sang Dokter untuk meminumnya sekali lagi dengan gelas tersebut tetapi dengan perasaan yang berbeda, yakni perasaan iklas. Keesokannyapun sang Dokter sembuh dari sariawan seperti sedia kala. Wanita tersebut tetap asyik membersihkan batu Ka’bah dengan tisunya, sementara antrean sudah mulai panjang dan berdesakan. Ingin sekali saya melarangnya, namun karena nggak bisa bahasa Turki, lagian nggak lucu khan kenalan didepan Ka’bah.
Ketika ia hendak mencium batu Ka’ bah -mungkin setelah ia merasa bersih- desakan dari kerumunan orang dibelakang tak tertahankan hingga mendorong wanita itu pada saat ia menciumnya sehingga benturan hidung mancung dan batu tak dapat terelakkan. Ia pun selesai mencium batu Ka’bah dengan hidung mimisan (berdarah).
Kuwalat atau apa ini namanya ya? Hati yang kurang bersih?
Saya jadi teringat cerita Ka’bah di surat Al-Fiil dimana tentara Abrahah yang mengendarai Gajah pada masa itu dibuat tak berdaya oleh burung-burung Ababil.
Saya semakin mengerti mekanisme ghoib. Mekanisme yang tidak kasat mata. Bahkan mekanisme ini pun abstrak tak simetris. Terjadi di kasus ini namun kadang tidak di kasus itu. Semuanya parsial-kondisional, namun saya fikir standarnya sama jika kita ukur dari perasaan hati yang dalam. Mekanisme tersebut tak kan pernah dapat diukur karena sifatnya yang relatif tak pernah sama pada setiap individu. Meskipun ia bukan ada di alam fisika, namun saya yakin ia ada dan bekerja secara setimbang. Saya cenderung menyebutnya Metafisika daripada Supranatural yang lebih berbau klenik / sihir, trick sulap yang diyakini sebagai salah atu keajaiban oleh orang musyrik.
Mekanisme ghoib pada alam Metafisika inipun bekerja pada kawan saya Iqbal dimana setiap harinya, sepulang kami dari sholat, ia kehilangan sandal. Bahkan sehari dapat lebih dari sekali ia kehilangan sandal. Ia mencoba berdo’a dan bertaubat dosa apa kiranya yang telah ia buat. Namun tetap saja ia kehilangan sandal setiap harinya, hingga ia harus membawa 5 real setiap sholat guna menjaga apabila sandalnya hilang. Tahukah anda, kejadian kecil disini-dapat menimbulkan akibat besar disana. Saya ambil contoh misalnya, hilangnya sandal Iqbal, mengakibatkan ia harus membeli sandal di toko dimuka Masjid. Penjual di toko tersebut seharusnya melayani seorang calon pembeli wanita misalnya, namun karena Iqbal membeli, maka ia tidak jadi melayani wanita itu. Wanita itu pergi lebih cepat. Dalam perjalanannya pulang, ia mengalami kecelakaan mobil (mis. ditabrak mobil). Seandainya Iqbal tidak kehilangan sandal, wanita tersebut mungkin akan 10 menit lebih lama untuk jalan pulang, yang tentu saja tak mengakibatkan ia mengalami kecelakaan.
Bukan disitu saja, sang suami wanita tadi (yang katakan seorang jenderal), yang seharusnya berangkat melakukan perjalanan luar negeri guna menandatangani sebuah kesepakatan perang, membatalkan rencananya, sehingga kesepakatan serangan atau perang tadi ditangguhkan. Hilangnya sandal seorang Iqbal, dapat mengakibatkan tercegahnya sebuah rencana perang atau penyerbuan.
Ini contoh ekstreem yang memang hanya teori main-main, tetapi saya yakin bahwa semua ini ada mekanismenya dan jangan coba-coba untuk mengurainya, karena ia terlalu abstrak dan hanya tunduk patuh pada sang Maha Penguasa. Penguasa alam fisika dan non fisika.
3.4. Kejadian 9
Malam besok adalah malam terakhir saya di Mekkah, oleh karenanya saya minta kepada Tour guide untuk mengantar saya ke Goa Hira’ pagi-pagi sekali. Tak ada anggota rombongan yang mau ikut. Tidak juga H. Tabrani maupun Iqbal anaknya. ” OK, nggak apa-apa, saya tetap mau berangkat sendiri”, tegas saya kepada Tour guide. Jadi biaya travel maupun biaya Tour guide saya tanggung sendirian. Kamipun merencanakannya. Paginya seusai sholat Shubuh, saya berkemas bersiap berangkat, dengan tas ransel dan sepatu sport. Dengan menggunakan taksi, kami tiba dikaki bukit Gua Hira’. Perjalanan sampai kepuncak memakan waktu kurang lebih satu jam. Terbayang oleh saya ketika Nabi pulang pergi setiap harinya sampai ke puncak. Gua Hira’ ternyata sangat kecil. Lebih mirip dua batu yang saling bersandar daripada sebuah Gua. Ditemani Tour guide, saya sujud ditempat Nabi Muhammad duduk menyendiri 1422 tahun yang lalu.
Dalam sujud saya bicara dalam hati, “Ya Malaikat Jibril, kenapa koq Nabi Muhammad diberi wahyu, kenapa saya tidak?”. “Kenapa Nabi Muhammad dapat berjumpa denganmu, kenapa saya tidak?” Tanpa sholat dan do’a, tanpa meratap ke gua apalagi membuang sesaji (hanya sujud dan berkata dalam hati seperti diatas saja), kami pulang menuruni bukit. Saya pun membahas pertanyaan saya di dalam hati tadi kepada Tour guide. Saya juga sering menyendiri di Villa, menyendiri di kaki bukit Gn. Gede, tetapi kenapa tak pernah datang yang namanya Jibril. Saya jadi ingat cerita-cerita para sufi yang mempelajari hakekat sehingga pergi kegunung-gunung menyendiri, lepas dari hubungan sosial, serta tak mempedulikan situasi dan kondisi diri.
Apakah tindakan Nabi Muhammad pada kala itu seperti para sufi tersebut? Pertanyaan inipun saya simpan kembali tanpa tahu jawabannya. Esok hari terakhir, hari dimana saya mesti melakukan tawaf wada’, tawaf terakhir/ tawaf perpisahan dengan Ka’bah. Saya tidur cepat setelah sholat Isya”.
Subuh dini hari saya bangun, ketika saya hendak menggosok gigi, saya tiba-tiba tersadar, “Subhanalloh, tadi malam saya bermimpi bertemu Jibril”. Buru-buru saya ketok kamar H. Tabrani. Saya bangunkan ia, dan saya ceritakan mimpi saya.
“Bagaimana ceritera mimpinya?”, H. Tabrani bertanya.
“Begini Pak, sesuatu berbentuk manusia dengan peci hitam datang kepada saya. Saya bertanya siapa anda? Ia menjawab saya Jibril, kemudian ia mengajak saya untuk ikut. Saya berjalan mengikutinya, dan tiba-tiba kami tiba di sebuah Masjid.
Didalam mimpi saya Jibril berkata, “ini Masjidil Aqsa”. “Disini terdapat salah satu keajaiban yang anda cari”. H. Tabrani pernah melawat ke Masjidil Aqsa’. H. Tabrani berfikir sejenak, kemudian ia menjawab, mungkin yang dimaksud adalah “The Dome of the Rock. Sebuah batu yang berada tepat ditengah Masjid”. “Aneh memang batu itu. Ia menggantung, dan berada tepat ditengah-tengah Masjid, kami semua juga nggak ngerti kenapa begitu”. Terus bagaimana tanya H. Tabrani. Terus Jibril bilang begini Pak, “Tolong Masjid ini dipelihara”. H. Tabrani menepak kepala “Waduh…repot ini”. “Kenapa Pak?”, tanya saya.
“Masjid itu dikuasai Yahudi. You Nggak bisa keluar masuk seenaknya”.
“You sholat dibatasi disana, Cuma 5 menit “.
“Wah saya nggak bisa jelasin artinya “.
“Tapi yang jelas, saya yakin you adalah orang yang disayang Allah”.
“Subhanalloh”. Saya sudah berumur 63 thn, tapi saya belum pernah mimpi bertemu Jibril, tapi you…you…luar biasa”.
Saya juga tidak mengerti sampai sekarang arti mimpi saya, dimana saya tidur di Mekkah, bermimpi dibawa seseorang yang berkata sebagai Malaikat Jibril, yang kemudian membawa saya ke Masjidil Aqsa’ di Palestin. Saya jadi merinding.
Saya takut sendiri dengan kejadian-kejadian yang saya alami. Saya takut untuk berbuat macam-macam. Saya mengalami semua ini dalam perjalanan ke Mekkah. Kesadaran saya seperti sekarang ini amat saya syukuri, namun yang paling saya takuti, adalah deviasinya, perubahannya apabila saya tidak menjaganya. Apa yang akan terjadi nanti ditanah air.
Saya harus menghadapi dunia nyata yang penuh dengan godaan. Tidak seperti waktu di Mekkah, dimana fikiran, jiwa dan raga kita bisa khusuk serta kita jaga kebersihannya. Dari perjalanan ini, tidak semua kejadian saya ceritakan, hanya yang saya anggap penting saja, namun sebenarnya, kejadian kecil lainnya yang merujuk kepada hidayah yang tidak saya ceritakan karena terlalu panjang banyak saya alami, namun saya mempunyai beberapa kesimpulan:
  1. Allah itu benar adanya yang menciptakan segala sesuatu.
  2. Wahyu Allah turun pada setiap kurun waktu tertentu.
  3. Wahyu Allah juga turun kepada Muhammad yang diutus sebagai Rasulnya.
  4. Allah tidak punya banat/sarikat/kompetitor.
  5. Allah menurunkan Wahyunya kepada Muhammad yang kemudian dibakukan dalam bentuk kitab yang bernama Al-Qur’an.
  6. Al-Qur’an adalah statemen dari Allah yang didalamnya berisikan petunjuk bagi manusia yang ingin berserah diri kepadanya.
  7. Al-Qur’an bukan buatan Muhammad atau ideologi Muhammad.
  8. Haji dan Umroh penting adanya dan bukan bisa-bisanya Muhammad. Biaya yang demikian mahal, sebanding bahkan melebihi hasil yang kita dapat dari perjalanannya.
  9. Daging Babi, darah, Alkohol, Judi, Zinah, dan perbuatan maksiat lainnya adalah haram hukumnya. Tak perlu dianalisa secara metode ilmiah, karena justifikasinya akan selalu ditemukan manusia guna menghalalkannya, namun demikian, coba fikirkan dengan instrument rasa/intuisi dari hati yang dalam, bermanfaatkah jika dilakukan.
  10. Kita manusia adalah manusia yang paling istimewa, karena kita mempunyai 2 pilihan, berserah diri kepada kemauan Pencipta, atau berserah diri kepada kemauan kita sendiri.
  11. Ada mekanisme Ghoib yang tidak kelihatan, yang memberikan balasan positif apabila kita berbuat positif, berbalas negatif apabila kita berbuat negatif.
  12. Mekanisme Ghoib, berlaku pada orang-orang yang dicintai Allah, namun bagi yang sudah kelewatan, ia akan dibiarkan, karena Allah menegur dengan sapaan hirarki. Peringatan pertama mungkin dengan mencolek, jika ia tak mau, Allah peringati ia dengan menepak, jika ia tak juga sadar Allah peringati ia dengan menempeleng keras, namun jika ditempeleng keras ia tetap dableg dengan perbuatan negatifnya, Allah akan membiarkannya, karena hanya hari akhir setelah matinya yang akan membalasnya kekal abadi di Neraka Jahanam.
  13. Mekkah dan Madinah bukan tanah suci (seperti yang saya duga sebelumnya pada tulisan Muhammad punya bisa ), melainkan tanah Haram, daerah dimana diharamkan bagi siapa saja berbuat kerusakan, dan itupun hanya pada batas-batas tertentu yang sudah diberi patok/tanda.

Tidak ada komentar: