sikap pertengahan umat islam, antara yahudi dan nasrani
Umat Islam adalah umat yang terbaik sekaligus umat yang paling mulia. Di antara sebabnya adalah sikap adil yang dimiliki umat Islam, yakni bersikap pertengahan di antara dua kelompok yang terlalu berlebih-lebihan dan terlalu meremehkan. Umat Nashrani bersikap berlebih-lebihan dalam beragama, sedangkan umat Yahudi terlalu meremehkan. Kedua-duanya telah keliru dalam memahami agama. Adapun umat Islam adalah umat yang adil, berada di tengah-tengah antara keduanya.
Dalam Perkara Tauhid
Dalam permasalahan tauhid kepada Allah dan terhadap sifat-sifat-Nya, umat Islam bersikap pertengahan antara Yahudi dan Nashrani. Umat Yahudi menyifati Allah Ta’ala dengan sifat kekurangan yang dimiliki makhluk sehingga mereka menyamakan Allah dengan makhluk. Mereka mengatakan bahwa Allah bakhil (kikir) dan fakir, memiliki sifat malas sehingga butuh istirahat, Allah menyerupai bentuk manusia, serta perkataan lain yang senada. Adapun umat Nashrani menyifati makhluk dengan sifat Al Kholiq (Yang Maha Pencipta). Mereka manyamakan makhluk dengan Allah Ta’ala. Mereka mengatakan bahwa Allah adalah al Masih bin Maryam, al Masih adalah Ibnullah (anak Allah), dia dapat mencipta, memberi rizki, mengampuni dosa, memberi rahmat, serta memberi pahala dan mengadzab.
Sikap umat Islam pertengahan di antara keduanya. Umat Islam mentauhidkan Allah ‘Azza wa Jalla semata. Mereka menyifati Allah dengan sifat yang sempurna, dan menyucikannya dari seluruh sifat kekurangan, serta tidak menyamakan sifat Allah dengan sifat makhluk. Mereka meyakini bahwa tidak ada satupun yang menyerupai Allah baik dalam dzat, sifat, maupun perbuatan-Nya.
Dalam Keimanan Terhadap Para Nabi
Dalam hal keimanan terhadap para Nabi, umat Islam bersikap pertengahan antara Yahudi dan Nashrani. Umat Yahudi membunuh nabi-nabi mereka, mencela mereka, serta berpaling dan sombong dengan tidak mau mengikuti ajaran mereka. Sedangkan umat Nashrani mereka bersikap ghuluw (berlebih-lebihan) terhadap Nabi mereka. Mereka menjadikannya sebagai sesembahan selain Allah. Mereka menjadikan al Masih ‘alaihis salaam sebagai Tuhan.
Sikap umat Islam pertengahan di antara keduanya. Umat Islam mendudukkan nabi-nabi mereka sesuai dengan kedudukannya. Umat Islam senantiasa menolong nabi-nabi mereka, mengagungkan mereka, membenarkan mereka, mencintai mereka, mentaati mereka, serta mengimani bahwa mereka semua adalah hamba Allah sekaligus rasul yang memberi peringatan dan kabar gembira. Umat Islam tidak bersikap berlebih-lebihan sampai menyembah mereka dan menjadikan mereka sebagai sesembahan selain Allah karena para nabi tidaklah mengetahui yang ghaib, dan mereka juga sedikit pun tidak dapat memberikan manfaat dan mudhorot (bahaya).
Dalam Permasalahan Syariat
Dalam permasalahan syariat, umat Islam bersikap pertengahan antara Yahudi dan Nashrani. Umat Yahudi menolak rasul utusan Allah yang tidak membawa syariat Musa ‘alaihis salaam. Mereka mengatakan bahwa Allah tidak boleh menghapus syariat Musa ‘alahis salaam, serta tidak boleh pula untuk menghilangkan dan menetapkan syariat yang Allah kehendaki. Adapun kamu Nashrani mereka membolehkan pendeta-pendeta mereka merubah agama Allah, menghalalkan perkara yang Allah haramkan dan mengharamkan perkara yang Allah halalkan.
Sikap umat Islam pertengahan di antara keduanya. Umat Islam meyakini bahwa segala penciptaan dan pengaturan hanyalah hak Allah. Allah menghilangkan dan menetapkan sesuatu sesuai dengan kehendak-Nya. Penghapusan syariat bisa saja terjadi di masa hidupnya Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Adapaun setelah wafatnya beliau, maka tidak boleh seorang pun mengganti syariat Allah betapa pun tinngginya kedudukan dan besarnya kemampuan orang tersebut.
Dalam Perkara Halal Dan Haram
Dalam perkara halal dan haram, umat Islam bersikap pertengahan antara Yahudi dan Nashrani. Umat Yahudi banyak diharamkan dari hal-hal yang mubah. Sebagaimana Allah kisahkan dalam Al Quran,
كُلُّ الطَّعَامِ كَانَ حِلاًّ لِّبَنِى إِسْرَاءِيلَ إِلاَّ مَاحَرَّمَ إِسْرَاءِيلُ عَلَى نَفْسِهِ مِن قَبْلِ أَن تُنَزَّلَ التَّوْرَاةُ … {93}
“Semua makanan adalah halal bagi Bani Israil melainkan makanan yang diharamkan oleh Israil (Ya’qub) untuk dirinya sendiri sebelum Taurat diturunkan…”(QS. Ali Imron:93)
فَبِظُلْمٍ مِّنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللهِ كَثِيرًا {160}
“Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah” (QS. An Nisaa’:160)
Sedangkan umat Nashrani mereka berlebih-lebihan dalam menghalalkan hal-hal yang diharamkan. Mereka menghalalkan hal-hal yang diharamkan dalam Taurat dan diharamkan oleh al Masih ‘alaihis salaam. Mereka menghalalkan hal-hal yang jelek dan semua hal yang haram seperti bangkai, darah, dan daging babi.
Sikap umat Islam pertengahan di antara keduanya. Mereka tidak berlebih-lebihan dalam perkara halal dan haram. Mereka menghalalkan hal-hal yang telah Allah halalkan bagi mereka dalam Al Quran atau sabda Nabi shalallhu ‘alaihi wa salaam. Mereka juga mengharamkan segala sesuatu hal yang jelek yang diharamkan bagi mereka. Allah Ta’ala berfirman tentang kondisi umat Islam,
الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ اْلأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا عِندَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَاْلإِنجِيلِ يَأْمُرُهُم بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ … {157}
“(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk …” (QS. Al A’rof:157)
Dalam Urusan Ibadah
Dalam urusan ibadah, umat Islam bersikap pertengahan antara Yahudi dan Nashrani. Umat Yahudi berilmu tetapi tidak mau beramal. Merekalah golongan yang dimurkai. Mereka berpaling dari ibadah dan bersikap sombong dengan tidak mau taat kepada Allah. Mereka mengikuti hawa nafsu mereka dan menghamba kepada diri mereka sendiri shingga mereka bersikap berlebih-lebihan dalam menyikapi dunia daripada agama dan akhirat mereka. Sedangkan umat Nashrani tidak memiliki ilmu sehingga beribadah kepada Allah di atas kejahilan. Merekalah golongan yang sesat. Mereka beribadah berlandaskan bid’ah yang tanpa dasar.
Sikap umat Islam pertengahan di antara keduanya. Mereka berilmu sekaligus mengamalkannya. Mereka adalah golongan yang Allah beri nikmat. Mereka menyembah Allah semata dengan syariat-Nya, bukan berdasarkan hawa nafsu dan kebid’ahan. Mereka juga tidak melupakan kebaikan untuk dunia mereka. Teladan mereka adalah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salaam.
Pembaca yang budiman, inilah keadilan akidah Islam. Bersikap pertengahan antara dua kolompok yang terlalu berlebih-lebihan dan terlalu meremehkan. Semoga Allah meneguhkan kita di atas Islam sampai ajal menjemput kita. Wa shalallahu ‘alaa nabiyyina muhammaad.
[Disadur dengan sedikit perubahan redaksi dari kitab Al Mufiid fii Muhammaati at Tauhid, hal 43-48 karya Dr. ‘Abdul Qodir as Shufi, Penerbit Daar Adwaus Salaf, Cetakan pertama, 1428/2007]
Selesai ditulis di Kompleks Ma’had Jamilurrohman
Kamis menjelang subuh, 18 Rabi’ul Awwal 1431 H/ 4 Februari 2010
Penulis: Abu ‘Athifah Adika Mianoki
Muroja’ah: M.A. Tuasikal
Dalam Perkara Tauhid
Dalam permasalahan tauhid kepada Allah dan terhadap sifat-sifat-Nya, umat Islam bersikap pertengahan antara Yahudi dan Nashrani. Umat Yahudi menyifati Allah Ta’ala dengan sifat kekurangan yang dimiliki makhluk sehingga mereka menyamakan Allah dengan makhluk. Mereka mengatakan bahwa Allah bakhil (kikir) dan fakir, memiliki sifat malas sehingga butuh istirahat, Allah menyerupai bentuk manusia, serta perkataan lain yang senada. Adapun umat Nashrani menyifati makhluk dengan sifat Al Kholiq (Yang Maha Pencipta). Mereka manyamakan makhluk dengan Allah Ta’ala. Mereka mengatakan bahwa Allah adalah al Masih bin Maryam, al Masih adalah Ibnullah (anak Allah), dia dapat mencipta, memberi rizki, mengampuni dosa, memberi rahmat, serta memberi pahala dan mengadzab.
Sikap umat Islam pertengahan di antara keduanya. Umat Islam mentauhidkan Allah ‘Azza wa Jalla semata. Mereka menyifati Allah dengan sifat yang sempurna, dan menyucikannya dari seluruh sifat kekurangan, serta tidak menyamakan sifat Allah dengan sifat makhluk. Mereka meyakini bahwa tidak ada satupun yang menyerupai Allah baik dalam dzat, sifat, maupun perbuatan-Nya.
Dalam Keimanan Terhadap Para Nabi
Dalam hal keimanan terhadap para Nabi, umat Islam bersikap pertengahan antara Yahudi dan Nashrani. Umat Yahudi membunuh nabi-nabi mereka, mencela mereka, serta berpaling dan sombong dengan tidak mau mengikuti ajaran mereka. Sedangkan umat Nashrani mereka bersikap ghuluw (berlebih-lebihan) terhadap Nabi mereka. Mereka menjadikannya sebagai sesembahan selain Allah. Mereka menjadikan al Masih ‘alaihis salaam sebagai Tuhan.
Sikap umat Islam pertengahan di antara keduanya. Umat Islam mendudukkan nabi-nabi mereka sesuai dengan kedudukannya. Umat Islam senantiasa menolong nabi-nabi mereka, mengagungkan mereka, membenarkan mereka, mencintai mereka, mentaati mereka, serta mengimani bahwa mereka semua adalah hamba Allah sekaligus rasul yang memberi peringatan dan kabar gembira. Umat Islam tidak bersikap berlebih-lebihan sampai menyembah mereka dan menjadikan mereka sebagai sesembahan selain Allah karena para nabi tidaklah mengetahui yang ghaib, dan mereka juga sedikit pun tidak dapat memberikan manfaat dan mudhorot (bahaya).
Dalam Permasalahan Syariat
Dalam permasalahan syariat, umat Islam bersikap pertengahan antara Yahudi dan Nashrani. Umat Yahudi menolak rasul utusan Allah yang tidak membawa syariat Musa ‘alaihis salaam. Mereka mengatakan bahwa Allah tidak boleh menghapus syariat Musa ‘alahis salaam, serta tidak boleh pula untuk menghilangkan dan menetapkan syariat yang Allah kehendaki. Adapun kamu Nashrani mereka membolehkan pendeta-pendeta mereka merubah agama Allah, menghalalkan perkara yang Allah haramkan dan mengharamkan perkara yang Allah halalkan.
Sikap umat Islam pertengahan di antara keduanya. Umat Islam meyakini bahwa segala penciptaan dan pengaturan hanyalah hak Allah. Allah menghilangkan dan menetapkan sesuatu sesuai dengan kehendak-Nya. Penghapusan syariat bisa saja terjadi di masa hidupnya Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Adapaun setelah wafatnya beliau, maka tidak boleh seorang pun mengganti syariat Allah betapa pun tinngginya kedudukan dan besarnya kemampuan orang tersebut.
Dalam Perkara Halal Dan Haram
Dalam perkara halal dan haram, umat Islam bersikap pertengahan antara Yahudi dan Nashrani. Umat Yahudi banyak diharamkan dari hal-hal yang mubah. Sebagaimana Allah kisahkan dalam Al Quran,
كُلُّ الطَّعَامِ كَانَ حِلاًّ لِّبَنِى إِسْرَاءِيلَ إِلاَّ مَاحَرَّمَ إِسْرَاءِيلُ عَلَى نَفْسِهِ مِن قَبْلِ أَن تُنَزَّلَ التَّوْرَاةُ … {93}
“Semua makanan adalah halal bagi Bani Israil melainkan makanan yang diharamkan oleh Israil (Ya’qub) untuk dirinya sendiri sebelum Taurat diturunkan…”(QS. Ali Imron:93)
فَبِظُلْمٍ مِّنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللهِ كَثِيرًا {160}
“Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah” (QS. An Nisaa’:160)
Sedangkan umat Nashrani mereka berlebih-lebihan dalam menghalalkan hal-hal yang diharamkan. Mereka menghalalkan hal-hal yang diharamkan dalam Taurat dan diharamkan oleh al Masih ‘alaihis salaam. Mereka menghalalkan hal-hal yang jelek dan semua hal yang haram seperti bangkai, darah, dan daging babi.
Sikap umat Islam pertengahan di antara keduanya. Mereka tidak berlebih-lebihan dalam perkara halal dan haram. Mereka menghalalkan hal-hal yang telah Allah halalkan bagi mereka dalam Al Quran atau sabda Nabi shalallhu ‘alaihi wa salaam. Mereka juga mengharamkan segala sesuatu hal yang jelek yang diharamkan bagi mereka. Allah Ta’ala berfirman tentang kondisi umat Islam,
الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ اْلأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا عِندَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَاْلإِنجِيلِ يَأْمُرُهُم بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ … {157}
“(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk …” (QS. Al A’rof:157)
Dalam Urusan Ibadah
Dalam urusan ibadah, umat Islam bersikap pertengahan antara Yahudi dan Nashrani. Umat Yahudi berilmu tetapi tidak mau beramal. Merekalah golongan yang dimurkai. Mereka berpaling dari ibadah dan bersikap sombong dengan tidak mau taat kepada Allah. Mereka mengikuti hawa nafsu mereka dan menghamba kepada diri mereka sendiri shingga mereka bersikap berlebih-lebihan dalam menyikapi dunia daripada agama dan akhirat mereka. Sedangkan umat Nashrani tidak memiliki ilmu sehingga beribadah kepada Allah di atas kejahilan. Merekalah golongan yang sesat. Mereka beribadah berlandaskan bid’ah yang tanpa dasar.
Sikap umat Islam pertengahan di antara keduanya. Mereka berilmu sekaligus mengamalkannya. Mereka adalah golongan yang Allah beri nikmat. Mereka menyembah Allah semata dengan syariat-Nya, bukan berdasarkan hawa nafsu dan kebid’ahan. Mereka juga tidak melupakan kebaikan untuk dunia mereka. Teladan mereka adalah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salaam.
Pembaca yang budiman, inilah keadilan akidah Islam. Bersikap pertengahan antara dua kolompok yang terlalu berlebih-lebihan dan terlalu meremehkan. Semoga Allah meneguhkan kita di atas Islam sampai ajal menjemput kita. Wa shalallahu ‘alaa nabiyyina muhammaad.
[Disadur dengan sedikit perubahan redaksi dari kitab Al Mufiid fii Muhammaati at Tauhid, hal 43-48 karya Dr. ‘Abdul Qodir as Shufi, Penerbit Daar Adwaus Salaf, Cetakan pertama, 1428/2007]
Selesai ditulis di Kompleks Ma’had Jamilurrohman
Kamis menjelang subuh, 18 Rabi’ul Awwal 1431 H/ 4 Februari 2010
Penulis: Abu ‘Athifah Adika Mianoki
Muroja’ah: M.A. Tuasikal
(silahkan buka situs2 islam bermanfaat:
www.eramuslim.com ,
www.kajian.net ,
www.alsofwah.or.id ,
www.muslim.or.id ,
www.almanhaj.or.id ,
www.muslimah.or.id )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar