Islam Dan Perceraian
Bismillah,
Artikel ini bisa jadi merupakan artikel yang paling tidak disukai oleh kebanyakan kaum muslim dan muslimah. Mengapa? Karena mereka tentu saja ingin mempunyai dan membangun keluarga yang sakinah, ma waddah dan wa rahmah hingga akhir hayat, sebagaimana yang telah mereka ikrarkan ketika ijab kabul.
Namun, kita tidak pernah tahu kehidupan rumah tangga di masa depan. Bisa jadi badai perkawinan yang menerpa sedemikian hebatnya sehingga masing-masing pihak tidak bisa mempertahankan rumah tangga mereka lebih lama lagi.
Saya tetap memasukkan artikel ini ke dalam kategori pernikahan, karena bagaimanapun, cerai merupakan salah satu poin dalam perkawinan. Selain itu, Islam juga memberikan rambu-rambu apabila terjadi perceraian.
Nah, bagaimana sebenarnya Islam memandang perceraian?
Mari kita lihat dalil-dalil berikut ini:
- “Sesungguhnya perbuatan mubah tapi dibenci Allah adalah talak (cerai)”. (al hadits)
- “Perkara halal yang paling dibenci oleh Allah adalah perceraian.” (al hadits)
- “Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, bahwa ketika istri Tsabit bin Qais Al-Anshari Radhiyallahu ‘anhu menyatakan tidak bisa melanjutkan rumah tangga dengannya karena tidak mencintainya, dan ia bersedia menyerahkan kembali kebun kepadanya yang dulu dijadikan sebagai mahar pernikahannya, beliau menyuruh Tsabit untuk menceraikannya, maka Tsabit pun melaksanakannya.” Demikian sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab shahihnya.
- “Janganlah seorang isteri minta cerai dari suaminya tanpa alasan (sebab yang dibenarkan), niscaya dia tidak akan mencium bau surga yang baunya dapat dirasakan pada jarak tempuh empat puluh tahun.” (HR. Ibnu Majah)
- “Allah melaknat suami yang mengambil laki-laki lain untuk mengawini bekas isterinya yang sudah cerai tiga talak supaya bisa dirujuk kembali olehnya. Jadi perkawinan itu sekedar tipu muslihat bagi pengesahan rujuk. Orang yang mau disuruh membantu tipu daya dengan mengawini lalu dicerai (tidak digauli) juga dilaknat Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
- “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang lalim.” (Al Baqarah(2):222)
- “Kemudian jika si suami menlalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui. —- Apabila kamu menalak istri-istrimu, lalu mereka mendekati akhir idahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang makruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang makruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudaratan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. Barang siapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat lalim terhadap dirinya sendiri. Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah sebagai permainan. Dan ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu yaitu Al Kitab (Al Qur’an) dan Al Hikmah (As Sunah). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. Dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Al Baqarah(2):230-231)
- “Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut-ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan. —- Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika istri-istrimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada takwa. Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa yang kamu kerjakan.” (Al Baqarah(2):236-237)
- “Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut`ah menurut yang makruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang takwa.” (Al Baqarah(2):241)
- “Jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masing dari limpahan karuniaNya. Dan adalah Allah Maha Luas (karuniaNya) lagi Maha Bijaksana”. (An-Nisa(4):130)
- “Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu: “Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut’ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik.” (Al Ahzab(33):28)
- “Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya: “Tahanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah”, sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada istrinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.” (Al Ahzab(33):37)
- “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka idah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya, Maka berilah mereka mut’ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya.” (Al Ahzab(33):49)
- “Kamu boleh menangguhkan (menggauli) siapa yang kamu kehendaki di antara mereka (istri-istrimu) dan (boleh pula) menggauli siapa yang kamu kehendaki. Dan siapa-siapa yang kamu ingini untuk menggaulinya kembali dari perempuan yang telah kamu cerai, maka tidak ada dosa bagimu. Yang demikian itu adalah lebih dekat untuk ketenangan hati mereka, dan mereka tidak merasa sedih, dan semuanya rela dengan apa yang telah kamu berikan kepada mereka. Dan Allah mengetahui apa yang (tersimpan) dalam hatimu. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.” (Al Ahzab(33):51)
- “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) idahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu idah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat lalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu suatu hal yang baru.” (Ath Thalaq(65):1)
- “Jika Nabi menceraikan kamu, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik daripada kamu, yang patuh, yang beriman, yang taat, yang bertobat, yang mengerjakan ibadah, yang berpuasa, yang janda dan yang perawan.” (At Tahrim(66):5)
Jika merujuk ke dalil2 di atas, maka Islam MEMBOLEHKAN perceraian dilakukan. Ada banyak alasa mengapa perceraian (dan boleh) dilakukan, diantaranya:
- terjadi perselingkuhan/pengkhianatan yg dilakukan suami/istri.
- adanya kedurhakaan terhadap agama (Islam) dari salah satu pihak. misalnya salah satu murtad/keluar dari Islam.
- takut mendurhakai/melanggar perintah agama (lihat Al Baqarah(2):222 dan hadits ttg Tsabit di atas)
- suami tidak bisa memenuhi nafkahnya/tidak bisa bertanggung jawab
- istri sakit yang menyebabkan tidak bisa menuaikan tugasnya sebagai seorang istri.
- adanya penyiksaan (kekerasan dalam rumah tangga).
Adapun rukun talak/cerai adalah:
- suami: berakal, baligh, serta dilakukan dengan kesadaran sendiri (bukan paksaan)
- istri: merupakan istri yang sah (menurut agama), belum ditalak 3 oleh suaminya
- diucapkan dengan jelas, tidak dalam kondisi marah, serta tidak ada paksaan
Semoga artikel ini berguna, cukup sebagai ilmu, jangan sampai dipraktikkan kecuali memang kondisi terpaksa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar