KEMATIAN datang tanpa dinyana. Tanpa mengetuk pintu, tiada sinyal maupun aba-aba. Itu yang sering membuat gelo yang ditinggalkan; anak, istri, atau suami yang jadi sigaraning nyowo, belahan jiwa. Apalagi jika kematian itu menyisakan nadar yang belum terlaksana. Nyesal-nya sampai bulanan.
Minggu siang lalu, maut juga muncul tanpa diduga. Suasana resepsi pernikahan di rumah H. Tamri di Desa Jambu, Kecamatan Jambu, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, berubah jadi jerit tangis air mata. Sebuah tronton bermuatan 500 sak semen nggelondor mundur, lalu menghajar rumah itu.
Truk tersebut baru berhenti setelah menghantam gardu listrik dan menimbulkan ledakan dahsyat. Seorang saksi mata, Jarkoni, sempat berteriak: ”Masya Allah! Allahu Akbar! Minggir-minggir!” Toh, musibah itu tidak terelakkan. 17 orang tamu undangan tewas dan 13 orang luka-luka.
Sebenarnya, tronton yang mogok kurang lebih satu jam di tanjakan Kethekan –sekitar 50 meter dari lokasi musibah– itu sedang dibetulkan oleh sopirnya, Wawan. Rodanya diganjal balok kayu. Jarkoni sudah mengingatkan agar ditambahi pengganjal. Wawan tak menggubris. Musibah pun tak terhindarkan, walau mati adalah takdir.
Itu pula, mungkin, yang membuat orangtua sering mengingatkan agar punya ”bekal” kalau sewaktu-waktu dijemput maut. Tak mengherankan jika tiba-tiba teman saya, seorang seniman, di-SMS keluarganya. Isinya: ”Cepat pulang. Penting. Bapak mau bicara.”
Ada apa? Ternyata dia diwejang. Umur sudah hampir 40 tahun, tapi salat belum sempurna. Rupanya, itu yang membuat orangtua gelisah. Terlebih setelah orangtuanya mengikuti pengajian. Waktu itu, kepada kiai yang juga pemilik pondok pesantren, dia bertanya: ”Kiai sudah bisa salat atau belum?”
Sang kiai menjawab polos: ”Belum!” Lho, jadi kiai kok belum bias salat? Diakui secara jujur bahwa salatnya sering sekadar njengkang-njengking tapi batinnya melayang entah ke mana. Pengakuan jujur itu yang membuat ayah si seniman mengacungkan jempol. Salut. Berarti kiai ini menyadari yang benar dan yang salah.
Sejak itu, rahasia kehidupan yang dicari sejak muda hingga menjelang 70 tahun seakan terjawab. Itu yang membuat dia buru-buru meng-SMS anaknya yang seniman. Dia diwejang agar tidak hidup dalam kegelapan. Agar mengerti kebenaran. Harus sunyi dari pamrih. Tidak iri hati, sebab iri ibarat api yang membakar kebaikan.
Pendeknya, manusia itu harus bisa mengekspresikan sifat-sifat Ilahi dalam dirinya. Theodore Roszack, seorang tokoh mistik, pernah mengatakan pada diri manusia itu ada ruang spiritual yang kalau ruang itu tidak diisi dengan hal-hal baik, secara otomatis akan diisi hal-hal buruk.
Hati akan menjadi semakin bening jika ucapan dan hati sejalan. Perbanyaklah zikir, yang dengan rendah hati merasakan keagungan Allah. Mintalah selalu ditunjukkan jalan yang lurus (al-shirath al- mustaqim) yang tak hanya horizontal juga vertikal. ”Dalam pemahaman saya, frekuensi saya harus sesuai dengan frekuensi Allah,” kata si seniman.
Artinya, dia selalu menyadari dalam pengawasan Allah. Itu sebabnya, pergi ke mana saja, jika waktu salat sudah masuk –dan belum salat– seniman ini gelisah. Sepertinya dia sedang menuju kehidupan sejati yang ”tak tersentuh” oleh kematian, saking dekatnya dengan Ilahi.
Dia ingin dekat pada Allah secara total. Dia ingin mati dengan membawa ”bekal”. Dia tak ingin tertipu oleh angan-angan panjang, oleh kepongahan duniawi. Apalagi, siksa kubur itu bukan omong kosong. Perubahan drastis itu, tak urung membuat rekan-rekannya heran.
Memang, dalam sebuah pengajian, Kiai Syarif Hidayatullah dari pondok Nurul Huda, Sragen, Jawa Tengah, pernah mengajak jamaahnya menyimak siksa kubur. ”Saya mau bercerita tentang siksa kubur. Tapi, saya minta semua diam dan tenang,” katanya. Cep klakep. Sekitar 1.000 jemaah kontan tak bercuap.
Di saat hening itulah, tiba-tiba terdengar suara tangis seorang wanita. ”Sampeyan dengar? Itulah tangisan siksa kubur,” kata Kiai Syarif. Tangisan perempuan di malam Jumat Legi itu membuat orang terlarut dalam pikiran masing-masing. Siapa yang menangis dan mengapa dia menangis?
”Mari kita cari suara tangisan itu. Kita doakan bersama-sama agar siksa kuburnya diringankan Allah,” ujar Kiai. Lima orang santri pondok diminta menjadi ”penunjuk jalan” menelusuri arah tangisan tersebut. Para jamaah mengikuti dari belakang.
Suara itu makin lamat-lamat, walau sumbernya jelas: dari sebuah kuburan baru di pinggir desa. Tanah kubur itu belum ditumbuhi rumput. Lalu ramai-ramai mereka jongkok, berdoa, dan terlarut dalam emosi masing-masing. Surat Al-Fatihah, Alam Nasyrah, Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-Nas, serta salawat Nabi dilantunkan.
Gemuruh doa itu terdengar hingga meluruhkan tangisan dari dalam kubur. Di atas kubur, justru para ibu yang menangis. Mungkin trenyuh, mungkin menyesali perbuatan yang lalu. Makanya, Rasulullah SAW pernah bersabda, ”Ziarahilah kubur, karena itu akan mengingatkanmu akhirat. Mandikanlah orang yang mati, karena mengurus jasad yang tidak bernyawa merupakan pelajaran yang sangat berharga.”
Sepulang dari pengajian masing-masing orang punya kesan sendiri. ”Saya betul-betul merinding,” ujar Joko, seorang santri. Sejak itu hamba Allah ini selalu berusaha tidak batal dari wudhu. Jika melihat atau mendengar ada orang kena musibah, misalnya, dengan enteng ia mengirim Al-Fatihah: ”Semoga penderitaannya diringankan Allah.”
Cerita tentang siksa kubur memang sering membawa makna yang dalam. Perenungan tentang mati yang terus menerus juga bisa mengobati dari kelumpuhan spiritual. Jangan heran jika rekan saya yang seniman belakangan ini ingin selalu ”dekat” dengan Ilahi. Dan, itu nikmat!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar