Sabtu, 22 Januari 2011

Berda’wah Membutuhkan Keberanian

Berda’wah Membutuhkan Keberanian

Apabila kita kembali kepada Al-Quran dan sunnah terutama sejarah kehidupan Rasulullah saw, maka jelaslah bahwa untuk mengemban dakwah Islamiyah dibutuhkan adanya keterusterangan (tidak menyembunyikan atau menutup-nutupi kebenaran), keberanian, daya usaha, dan kekuatan pemikiran. Keterusterangan itu tampak dari sikap Rasulullah saw. Dalam setiap kata yang diucapkan dan kejelasan setiap pemikirannya, ketika beliau mengajak kepada manusia serta menyerukan agar berkumpul dihadapkannya. Hal itu nampak dalam ucapan beliau di hadapan kaumnya dan penduduk Makkah: 
“Sesungguhnya seorang pemimpin tidak akan mendustakan kaumnya. Demi Allah, bahkan andaikan aku berdusta kepada segenap manusia, seluruhnya, maka tidak akan berdusta kepada kalian. Juga andaikan aku menipu manusia seluruhnya, maka tidak mungkin aku menipu kalian. Demi Allah yang tidak mungkin aku menipu kalian. Demi Allah yang tidak ada Tuhan kecuali Dia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah untuk kalian khususnya dan kepada manusia seluruhnya. Demi Allah kamu akan mati sebagaimana kamu tidur dan kamu bangun dari tidur dan dihisab atas segala apa yang kamu kerjakan sehingga kamu akan dibalas dengan kebaikan atas amal baikmu dan dengan keburukan atas amal buruknya. Adapun balasan itu berupa surga yang kekal atau neraka yang langgeng.” (Sirah Al-Halabiyah I: 459).

Adapun kebenaran Rasulullah saw. Yang paling menonjol dalam menyampaikan dakwah secara terang-terangan, tampak sekali, antara lain pada saat beliau masih seorang diri, tidak ada penolong (kecuali Allah SWT). Pendukung atau pembelanya dan tidak ada harta dan senjata, melainkan hanya keimanan yang kokoh kepada Allah SWT. Juga bekal beliau lainnya adalah keyakinan yang bulat terhadap adanya pertolongan Allah SWT.

Pernah suatu ketika Abu Jahal datang melarang beliau shalat di dekat Ka’bah, tetapi beliau tidak memperdulikannya, bahkan kembali mengulang shalatnya. Saat itu Abu Jahal mengancam hendak menginjak leher beliau, ketika beliau sedang sujud. Namun tidak ada seorang pun diantara mereka, baik Abu Jahal maupun pemimpin-pemimpin Makkah lainnya, yang dapat menghentikan perbuatan Rasulullah saw. Untuk shalat di Ka’bah, walaupun mereka semua mengancam dengan maksud untuk mencegah beliau shalat dan ini mereka lakukan kapan saja mereka kehendaki. Namun, Rasulullah saw tetap melakukan shalat di Ka’bah.
Demikianlah, dengan keberanian yang tinggi seperti ini, Rasulullah saw menghadapi makar para pemimpin Quraisy yang paling terpandang sekalipun. Beliau menghadapi mereka di berbagai kesempatan, sampai-sampai pada suatu hari beliau pernah berkata ketika mereka berusaha mengancam, menghalangi, dan menyakiti beliau, ketika Rasulullah saw yang melaksanakan thawaf : 
“Apakah kalian mau mendengarkan apa yang akan kusampaikan, wahai kaum Quraisy? Demi nyawaku yang berada di tangan Alllah, aku ingatkan kalian bahwa suatu ketika nanti aku akan membunuh kalian.” (Sirah Ibnu Hisyam 1: 190)

Dakwah Memerlukan Keteguhan Jiwa (Kekuatan Sikap)

Adapun kekuatan Rasulullah saw tampak pada kekuatan dari kebenaran yang beliau serukan melalui untaian kalimat yang jelas dan tegas, penuh percaya diri. Begitu pula tampak pada keteguhan hati beliau dalam berdakwah tidak pernah berkurang semangatnya, walaupun menghadapi berbagai kesulitan yang menghadapi perjalanan dakwahnya atau rintangan dan kesulitan yang dihadapi ketika melaksanakan dakwah.
Meskipun menghadapi berbagai intimidasi dan provokasi dari kaumnya agar beliau meninggalkan dakwah meskipun ditawarkan kepada beliau kesenangan dunia berupa kekuasaan, harta benda, wanita dan pengobatan medis gratis jika Rasulullah saw “gila” karena wahyu (menurut anggapan mereka), namun beliau tetap tegar secara konsisten dan konsekuen.

Selain itu muncul ‘tekanan’ yang dilakukan oleh pamannya sendiri (Abu Thalib) yang selama ini menjadi pelindung dan penolongnya. Menyuruh beliau meninggalkan da’wah agar tidak menyulitkan posisi pamannya dihadapan para pemimpin Quraisy. Tetapi dalam kenyataannya, beliau memperlihatkan kesiapannya untuk berjuang dan menanggung resiko, walaupun berwujud kematian dalam menegakkan dakwah yang telah Allah SWT turunkan kepadanya. Beliau tidak bergeming dari pendiriannya itu dan tidak pula mundur walau setapak pun dari tipu daya dan makar kaum Quraisy yang dilancarkan terhadap beliau dan para pengikutnya. Bahkan beliau sempat menyampaikan pernyataan yang masyhur di hadapkan pamannya, yaitu:
“Demi Allah, hai pamanku. Seandainya mereka meletakan matahari pada tangan kananku dan bulan pada tangan kiriku supaya aku tinggalkan perkara (dakwah) ini, tiadalah aku tinggalkan sampai Allah memenangkan dakwah atau aku binasa karenanya.” (Tarikh Tabari II:326; Tarikh Ibnu Atsar II:64) 

Lebih dari itu, selama Rasulullah saw dan para shahabatnya mengemban dakwah ini di Makkah, mereka tidak pernah berdamai apabila bekerja sama dengan seorang pemimpin atau pembesar manapun dan tidak pula peduli terhadap perlakuan kasar dan keras dari pembesar tersebut. Semua ini dilakukan dan dipertahankan dalam rangka menegakkan kebenaran. Bahkan mereka tentang masyarakat, sekalipun kesulitan dan bahaya serta segala rintangan harus dihadapi. Tidak terpekik dalam diri mereka, ketika mengemban dakwah ini, keinginan untuk mendapatkan kedudukan, kebesaran, atau kemaslahatan diri mereka serta keinginan-keinginan pribadi lainnya. Tidak ada perasaan takut ditentang dalam keadaan hidup dan mati. Tidak merasa khawatir dengan kedudukan duniawi. Tidak peduli dengan rezeki dan masa depan mereka karena Allah SWT yang telah menentukan semua itu. Tidak pula goyah sedikit pun pendirian mereka dalam menghadapi penghinaan, penderitaan, siksaan dan kemiskinan. Dari semua sikap yang demikian itu, nampak sekali bagi kita betapa kuatnya pribadi-pribadi mereka itu.

Dakwah memerlukan Keterusterangan

Mengemban dakwah Islam mengharuskan kedaulatan secara mutlak hanya untuk mabda’ (ideologi) Islam, tanpa mempertimbangkan apakah hal ini sesuai dengan keinginan masyarakat pada umumnya atau justru bertentangan; apakah sesuai dengan adat istiadat ataukah bertolak belakang; apakah mabda’ itu diterima oleh masyarakat, ditolak atau bahkan dimusuhi. Seorang pengemban dakwah tidak akan mencari muka dan berbasa-basi di depan masyarakat, bermuka dua atau bersikap toleran terhadap penguasa yang dzolim. Seorang pengemban dakwah tidak akan memperdulikan kebiasaan masyarakat beserta adat istiadatnya. Dia tidak memperhitungan apakah dakwahnya diterima oleh masyarakat atau ditolak. Dia akan berpegang teguh pada pada prinsip mabda’ Islam saja, dan hanya menyuarakan mabda’ itu saja, tanpa memperhitungkan nilai apapun selainnya. Tidak boleh mengatakan kepada orang-orang yang bermabda’ lain: ‘berpegang teguhlah pada prinsip kalian’ tetapi hendaknya mereka diajak (tanpa paksaan) untuk memeluk mabda’ Islam. Sebab, dakwah menuntut kedaulatan hanya untuk Islam semata, bukan untuk yang lain dan bahwasanya hanya Islamlah yang berkuasa di tengah-tengah masyarakat, sebagaimana firman Allah SWT:
‘Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al-Quran) dan agama yang benar, untuk dimenangkanNya atas seluruh agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukainnya.” (At Taubah:33).

Rasulullah saw datang ke dunia ini dengan membawa risalah Islam dan menyampaikan secara terang-terangan dan menantang. Beliau menyakini kebenaran risalah yang diembannya kepada masyarakat, menantang dunia secara keseluruhan, mengumumkan perang atas seluruh manusia yang menolak Islam tanpa memperhatikan warna kulit, memperdulikan adat istiadat, tradisi, kebiasaan-kebiasaan, agama-agama, kepercayaan-kepercayaan, sikap penguasa atau rakyat kebanyakkan. Beliau tidak memperhatikan sesuatu pun selain Risalah Islam.

Rasulullah saw telah memulai dakwahnya terhadap orang-orang Quraisy dengan mencela Tuhan-tuhan mereka, menentang dan meremehkan seluruh kepercayaan-kepercayaan mereka. Sedangkan beliau pada saat itu dalam keadaan sendirian dan diisolasi masyarakat, tanpa pendukung dan tanpa bekal selain imannya yang amat dalam terhadap Islam yang beliau serukan.

Demikian pula seharusnya sikap dan tindakan seorang pengemban dakwah Islam, yaitu menyampaikan dakwah secara terang-terangan; menentang segala kebiasaan, adat-istiadat, ide-ide sesat dan persepsi yang salah; bahkan akan menentang opini umum masyarakat kalau memang keliru, sekalipun untuk ini dia harus bermusuhan. Begitu pula dia akan menetang kepercayaan-kepercayaan dan agama-agama yang ada sekalipun harus berhadapan dengan kefanatikan para pemeluknya atau harus menghadapi kebencian orang-orang yang berada pada kesesatan.

Da’wah Perlu Pemikiran dan Pengetahuan
 
Pelaksanaan dakwahpun memerlukan pemikiran dan pengetahuan, sebagaimana ayat pertama yang diturunkan:
“Bacalah dengan menyebut nama Rabbmu yang menciptakan (segala sesuatu)” (QS Al-Alaq: 1)

Lagi pula, Rasulullah saw tidaklah menyeru manusia kepada sesuatu apapun, melainkan sesudah turunnya Al-Wahyu. Sebab, seperti yang telah dimaklumi bahwa wahyu telah diturunkan semenjak beliau masih berada di Makkah. Al-Wahyu turun pula saat beliau senantiasa diperhatikan, dipelihara, diselamatkan, dididik, dan diarahkan oleh Allah SWT. Juga ditentukan pula fase dan tahapan langkah dakwah untuk beliau, sebagaimana Allah SWT juga telah menentukan sasaran yang harus beliau capai pada setiap usaha dan kegiatan dakwah. Firman Allah SWT:
“(Dan) bersabarlah dalam menunggu ketetapan Rabbmu (berupa pertolongan Allah). Sesungguhnya kamu berada dalam pengawasan (perlindungan) Kami”. (QS Ath-Thuur: 48)
“(Dan ingatlah) ketika orang-orang kafir (Quraisy) melakukan daya upaya terhadap dirimu untuk menangkap dan memenjarakan atau membunuhmu, atau pula mengusirmu (dari Makkah). Mereka melakukan tipu daya, tetapi Allah menggagalkannya. Dan Allahlah sebaik-baiknya pembahas tipu daya” (QS Al Anfal: 30)

Oleh karena itu Rasulullah saw sangat menginginkan untuk mengajari para shahabatnya mengenai ayat-ayat Al-Quran dan keseluruhan wahyu yang diterimanya sebagai penjelasan, penafsiran atau perincian Al-Quran. Beliau menyuruh mereka untuk memahami dan menghafalkannya dan membantu beliau untuk menyebarluaskan kepada seluruh manusia, serta mengajarkan dan meneruskannya kepada yang lain, secara jujur/amanah tanpa mengubah-ubah, baik dengan cara menambah atau menguranginya. Para shahabat Rasulullah saw telah menemukan nilai pemikiran dalam kehidupan mereka, sehingga, misalnya Umar bin Khaththab ra pernah menyuruh kaum muslimin untuk mempelajari, mendalami, dan memahami hukum-hukum agama Islam, sebelum mereka memperoleh kekuasaan dan pemerintahan di muka bumi ini. Dalam hal ini, Umar bin Khaththab ra berkata:
“Pahamilah hukum-hukum agama, sebelum kamu menjadi pemimpin (penguasa)”. (HR Al Baihaqi)
WALLOHU'ALAM

SILAKAN BERIKAN KOMENTAR

Tidak ada komentar: