SAYYIDINA UMAR IBN AL-KHATHTHAB MENJELANG GUGURNYA
Sayyidina Umar wafat ditikam ketika memimpin Shalat Shubuh.Beliau selesaikan walau dengan darah bercucuran.Dalam keadaaan sakit berdarah-darah beliau memprioritaskan terlebih dahulu urusan kekhalifahan setelahnya, baru mengarah kepada urusan dirinya.
Sayyidina Umar Ibn al-Khaththâb ra. yang  sukses memimpin umat dan  membebaskan sekian wilayah di luar Jazirah  Arabia, tentu saja sangat  dibenci oleh para mantan penguasa yang  ditaklukkannya. Mereka menyewa  seseorang untuk membunuh beliau, suatu  tugas yang tidak terlalu sulit,  karena Umar ra. adalah seorang yang  enggan dikawal oleh pasukan.
Pada suatu pagi, beliau keluar rumah  berkeliling membangunkan kaum  muslimin untuk shalat subuh. Beliau  sendiri yang mengimami jamaah,  mengharapkan mereka meluruskan shaf  sebelum menghadap Allah. Di pagi  itu, baru saja beliau mengucapkan  Takbiratul Ihrâm, tiba-tiba seorang  pembunuh yang menaruh dendam atas  Umar menikamnya dengan dua kali  tikaman. Pertama mengenai bahu beliau  dan yang kedua menusuk  pinggangnya. Riwayat lain menyatakan tiga  tikaman, dan yang ketiga ini  di bawah pusar beliau. Tikaman-tikaman itu,  tidak melengahkan beliau  dari tugas memimpin shalat, bahkan beliau  enggan menunda shalat – yang  waktunya masih cukup untuk ditangguhkan  beberapa saat sebelum terbitnya  matahari. Ketika itu juga beliau mencari  Abdurrahman bin ‘Auf, agar  sahabat Nabi ini mengimami shalat.
Beberapa saat setelah beliau di tikam,  silih berganti kesadaran dan  ketidaksadaran mengunjunginya. Orang-orang  di sekeliling beliau  berkata: “Tidak ada yang dapat menyadarkannya  seperti shalat – kalau  memang dia masih hidup.” Lalu hadirin berucap:  “Shalat wahai Amir  al-Mu’minin. Shalat telah hampir dilaksanakan.”  Beliau sadar dan  berkata: “Shalat? Kalau demikian di sanalah Allah.  Tiada keberuntungan  dalam ajaran Islam, bagi yang meninggalkan shalat.”  Maka beliau  melaksanakan shalat dengan darah bercucuran.
Dalam keadaan sadar, beliau berpesan  kepada Ibnu ‘Abbâs: “Cari  tahulah siapa yang membunuhku.” Maka beberapa  saat kemudian Ibnu ‘Abbâs  datang menyampaikan bahwa: “Ia adalah si  Fairûz, Abu Lu’luah. salah  seorang bekas tawanan dari Persia. Umar ra.  bertanya: “Si Tukang itu?”  Ibnu ‘Abbâs mengiyakan. Maka Umar berkata:  “Tuhan mengutuknya. Aku  telah memerintahkan berbuat baik kepadanya.  Alhamdulillah yang  menjadikan kematianku bukan di tangan seorang yang  mengaku muslim.”  Ketika itu masuk seorang pemuda yang pakaiannya  menyentuh tanah –  mengesankan kebanggaan. Dalam keadaan berlumuran  darah, beliau masih  sempat memberi nasihat: “Anak saudaraku! Angkatlah  pakaianmu sehingga  tidak menyentuh tanah, karena itu menjadikannya lebih  bersih dan  mengantarmu lebih bertakwa.”
“Dokter” segera didatangkan untuk  mengobati luka yang masih  bercucuran darah. Beliau disuguhi perahan  kurma yang berwarna merah.  Tetapi mengalir dari perut beliau dan keluar  warna merah, tidak  diketahui apakah itu darah atau perahan kurma itu.  Lalu beliau disuguhi  susu, kali ini keluar berwarna putih  kemerah-merahan. Rupanya usus  beliau bocor. Sang dokter berbisik kepada  beliau: “Sampaikanlah pesanmu  – yakni engkau sedang menghadapi maut –  seandainya aku menyampaikan  selain itu, pastilah aku berbohong.” Beliau  pun memutuskan untuk  membentuk panitia syura guna menetapkan siapa  khalifah sesudah beliau.
Setelah urusan umat selesai, beliau  mengarah kepada urusan dirinya.  Yang pertama adalah hutang beliau.  Beliau ingin menyelesaikannya, atau  paling tidak mendapat jaminan  tentang pembayaran hutangnya sebelum  meninggalkan dunia ini. Beliau  berpesan agar mengumpulkan  peninggalannya guna membayar hutang beliau,  kalau belum cukup, beliau  meminta kerelaan keluarga kecil hingga  keluarga besarnya. Abdullah –  anak beliau – kemudian menjamin untuk  membayar semua hutang ayahnya,  padahal beliau adalah seorang penguasa  penakluk Empire Persia dan  Romawi.
Setelah urusan hutang selesai, Umar ra.  memerintahkan putranya  Abdullah bahwa: “Pergilah menemui Ummu  al-Mu’minîn Aisyah dan katakan  kepadanya: ‘Umar menyampaikan salam  untukmu’. Jangankan katakan Amir  al-Mu’minin – karena hari ini aku bukan  lagi Amir al-Mu’minin. Katakan  kepadanya: ‘Umar meminta izin kiranya  dapat dikuburkan bersama kedua  sahabatnya’ (yakni Nabi Muhammad saw. dan  Abu Bakar ra.).1 Abdullah pun  pergi dan tak lama kemudian dia datang  menyampaikan perkenan Aisyah  ra. – walau Aisyah ketika itu berkata: “Aku  tadinya mengharap  dikuburkan di samping Rasul, tetapi untuk Umar, maka  aku dahulukan  beliau atas diriku.” Umar ra. memuji Allah sambil berucap:  “Tidak ada  sesuatu yang lebih penting dariku melebihi itu”, lalu beliau  berkata  lagi – takut masih ada ketidakrelaan Aisyah: “Kalau nanti aku  telah  wafat, maka usunglah aku ke sana dan ucapkanlah salam lalu  sampaikan  (sekali lagi kepada Aisyah ra.) bahwa Umar meminta izin. Jika  dia  mengizinkan maka kuburkanlah aku di sana, dan jika tidak, maka  kuburkan  aku dipekuburan kaum muslimin.”
Ibnu ‘Abbâs ra. menyampaikan bahwa  ketika Umar ra ditikam, aku  berkata: “Berbahagialah dengan surga.”  Beliau menjawab: “Demi Allah,  seandainya aku memiliki dunia dan segala  isinya, niscaya kutebus  dengannya marabahaya yang ada di hadapanku –  sebelum aku mengetahui apa  yang akan terjadi.” Dalam riwayat yang lain  Ibnu ‘Abbâs berkata: “Hai  Amir al-Mu’min, engkau telah memeluk Islam,  ketika orang banyak masih  kafir. Engkau berjuang bersama Nabi, saat  orang banyak memusuhi beliau.  Engkau terbunuh sebagai syahid, dan tidak  ada seorang pun yang  berselisih tentang dirimu, Rasul pun wafat dalam  keadaan ridha  terhadapmu.” Umar ra. meminta agar Ibnu ‘Abbâs mengulangi  ucapannya.  Maka dia mengulanginya. Lalu Umar ra. 
berkomentar: “Seorang  yang  tertipu atau lengah adalah siapa yang kalian tipu atau lengahkan  dengan  kata-kata itu. Demi Allah, seandainya aku memiliki segala apa  yang  terdapat di bumi ini, niscaya kutebus dengannya marabahaya yang ada  di  hadapanku.” Ibnu ‘Abbâs berkata: “Wahai Amir al-Mu’min. Demi Allah,   sesungguhnya keislamanmu merupakan kemenangan, pemerintahanmu adalah   keberhasilan membuka wilayah baru, engkau telah memenuhi bumi dengan   keadilan. Tidak dua orang pun mengadu kepadamu, kecuali keduanya   menerima putusanmu.” Sayyidina Umar ra. yang ketika itu sedang   berbaring, meminta agar didudukkan. Lalu beliau meminta agar Ibnu ‘Abbâs   mengulangi ucapannya. Setelah mendengarnya sekali lagi, beliau  berkata:  “Apakah engaku akan bersaksi untukku seperti ucapanmu ini di  hari  Kemudian?” Ibnu ‘Abbâs mengiyakan. Umar sungguh bahagia.
Demikian sekelumit dari kisah Sayyidina Umar serta pesan beliau  menjelang wafat.
[Disunting dari buku "Menjemput Maut" karya M. Quraish Shihab.]
[Disunting dari buku "Menjemput Maut" karya M. Quraish Shihab.]






















 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar