Sabtu, 29 Januari 2011

SAYYIDINA UMAR IBN AL-KHATHTHAB MENJELANG GUGURNYA

Sayyidina Umar wafat ditikam ketika memimpin Shalat Shubuh.Beliau selesaikan walau dengan darah bercucuran.Dalam keadaaan sakit berdarah-darah beliau memprioritaskan terlebih dahulu urusan kekhalifahan setelahnya, baru mengarah kepada urusan dirinya.
Sayyidina Umar Ibn al-Khaththâb ra. yang sukses memimpin umat dan membebaskan sekian wilayah di luar Jazirah Arabia, tentu saja sangat dibenci oleh para mantan penguasa yang ditaklukkannya. Mereka menyewa seseorang untuk membunuh beliau, suatu tugas yang tidak terlalu sulit, karena Umar ra. adalah seorang yang enggan dikawal oleh pasukan.

Pada suatu pagi, beliau keluar rumah berkeliling membangunkan kaum muslimin untuk shalat subuh. Beliau sendiri yang mengimami jamaah, mengharapkan mereka meluruskan shaf sebelum menghadap Allah. Di pagi itu, baru saja beliau mengucapkan Takbiratul Ihrâm, tiba-tiba seorang pembunuh yang menaruh dendam atas Umar menikamnya dengan dua kali tikaman. Pertama mengenai bahu beliau dan yang kedua menusuk pinggangnya. Riwayat lain menyatakan tiga tikaman, dan yang ketiga ini di bawah pusar beliau. Tikaman-tikaman itu, tidak melengahkan beliau dari tugas memimpin shalat, bahkan beliau enggan menunda shalat – yang waktunya masih cukup untuk ditangguhkan beberapa saat sebelum terbitnya matahari. Ketika itu juga beliau mencari Abdurrahman bin ‘Auf, agar sahabat Nabi ini mengimami shalat.

Beberapa saat setelah beliau di tikam, silih berganti kesadaran dan ketidaksadaran mengunjunginya. Orang-orang di sekeliling beliau berkata: “Tidak ada yang dapat menyadarkannya seperti shalat – kalau memang dia masih hidup.” Lalu hadirin berucap: “Shalat wahai Amir al-Mu’minin. Shalat telah hampir dilaksanakan.” Beliau sadar dan berkata: “Shalat? Kalau demikian di sanalah Allah. Tiada keberuntungan dalam ajaran Islam, bagi yang meninggalkan shalat.” Maka beliau melaksanakan shalat dengan darah bercucuran.

Dalam keadaan sadar, beliau berpesan kepada Ibnu ‘Abbâs: “Cari tahulah siapa yang membunuhku.” Maka beberapa saat kemudian Ibnu ‘Abbâs datang menyampaikan bahwa: “Ia adalah si Fairûz, Abu Lu’luah. salah seorang bekas tawanan dari Persia. Umar ra. bertanya: “Si Tukang itu?” Ibnu ‘Abbâs mengiyakan. Maka Umar berkata: “Tuhan mengutuknya. Aku telah memerintahkan berbuat baik kepadanya. Alhamdulillah yang menjadikan kematianku bukan di tangan seorang yang mengaku muslim.” Ketika itu masuk seorang pemuda yang pakaiannya menyentuh tanah – mengesankan kebanggaan. Dalam keadaan berlumuran darah, beliau masih sempat memberi nasihat: “Anak saudaraku! Angkatlah pakaianmu sehingga tidak menyentuh tanah, karena itu menjadikannya lebih bersih dan mengantarmu lebih bertakwa.”

“Dokter” segera didatangkan untuk mengobati luka yang masih bercucuran darah. Beliau disuguhi perahan kurma yang berwarna merah. Tetapi mengalir dari perut beliau dan keluar warna merah, tidak diketahui apakah itu darah atau perahan kurma itu. Lalu beliau disuguhi susu, kali ini keluar berwarna putih kemerah-merahan. Rupanya usus beliau bocor. Sang dokter berbisik kepada beliau: “Sampaikanlah pesanmu – yakni engkau sedang menghadapi maut – seandainya aku menyampaikan selain itu, pastilah aku berbohong.” Beliau pun memutuskan untuk membentuk panitia syura guna menetapkan siapa khalifah sesudah beliau.

Setelah urusan umat selesai, beliau mengarah kepada urusan dirinya. Yang pertama adalah hutang beliau. Beliau ingin menyelesaikannya, atau paling tidak mendapat jaminan tentang pembayaran hutangnya sebelum meninggalkan dunia ini. Beliau berpesan agar mengumpulkan peninggalannya guna membayar hutang beliau, kalau belum cukup, beliau meminta kerelaan keluarga kecil hingga keluarga besarnya. Abdullah – anak beliau – kemudian menjamin untuk membayar semua hutang ayahnya, padahal beliau adalah seorang penguasa penakluk Empire Persia dan Romawi.

Setelah urusan hutang selesai, Umar ra. memerintahkan putranya Abdullah bahwa: “Pergilah menemui Ummu al-Mu’minîn Aisyah dan katakan kepadanya: ‘Umar menyampaikan salam untukmu’. Jangankan katakan Amir al-Mu’minin – karena hari ini aku bukan lagi Amir al-Mu’minin. Katakan kepadanya: ‘Umar meminta izin kiranya dapat dikuburkan bersama kedua sahabatnya’ (yakni Nabi Muhammad saw. dan Abu Bakar ra.).1 Abdullah pun pergi dan tak lama kemudian dia datang menyampaikan perkenan Aisyah ra. – walau Aisyah ketika itu berkata: “Aku tadinya mengharap dikuburkan di samping Rasul, tetapi untuk Umar, maka aku dahulukan beliau atas diriku.” Umar ra. memuji Allah sambil berucap: “Tidak ada sesuatu yang lebih penting dariku melebihi itu”, lalu beliau berkata lagi – takut masih ada ketidakrelaan Aisyah: “Kalau nanti aku telah wafat, maka usunglah aku ke sana dan ucapkanlah salam lalu sampaikan (sekali lagi kepada Aisyah ra.) bahwa Umar meminta izin. Jika dia mengizinkan maka kuburkanlah aku di sana, dan jika tidak, maka kuburkan aku dipekuburan kaum muslimin.”

Ibnu ‘Abbâs ra. menyampaikan bahwa ketika Umar ra ditikam, aku berkata: “Berbahagialah dengan surga.” Beliau menjawab: “Demi Allah, seandainya aku memiliki dunia dan segala isinya, niscaya kutebus dengannya marabahaya yang ada di hadapanku – sebelum aku mengetahui apa yang akan terjadi.” Dalam riwayat yang lain Ibnu ‘Abbâs berkata: “Hai Amir al-Mu’min, engkau telah memeluk Islam, ketika orang banyak masih kafir. Engkau berjuang bersama Nabi, saat orang banyak memusuhi beliau. Engkau terbunuh sebagai syahid, dan tidak ada seorang pun yang berselisih tentang dirimu, Rasul pun wafat dalam keadaan ridha terhadapmu.” Umar ra. meminta agar Ibnu ‘Abbâs mengulangi ucapannya. Maka dia mengulanginya. Lalu Umar ra. 

berkomentar: “Seorang yang tertipu atau lengah adalah siapa yang kalian tipu atau lengahkan dengan kata-kata itu. Demi Allah, seandainya aku memiliki segala apa yang terdapat di bumi ini, niscaya kutebus dengannya marabahaya yang ada di hadapanku.” Ibnu ‘Abbâs berkata: “Wahai Amir al-Mu’min. Demi Allah, sesungguhnya keislamanmu merupakan kemenangan, pemerintahanmu adalah keberhasilan membuka wilayah baru, engkau telah memenuhi bumi dengan keadilan. Tidak dua orang pun mengadu kepadamu, kecuali keduanya menerima putusanmu.” Sayyidina Umar ra. yang ketika itu sedang berbaring, meminta agar didudukkan. Lalu beliau meminta agar Ibnu ‘Abbâs mengulangi ucapannya. Setelah mendengarnya sekali lagi, beliau berkata: “Apakah engaku akan bersaksi untukku seperti ucapanmu ini di hari Kemudian?” Ibnu ‘Abbâs mengiyakan. Umar sungguh bahagia.

Demikian sekelumit dari kisah Sayyidina Umar serta pesan beliau menjelang wafat.
[Disunting dari buku "Menjemput Maut" karya M. Quraish Shihab.]

Tidak ada komentar: