Memahami Al-Qur’an
Perintah untuk memahami kandungan al-Qur’an dan menghayati  nilai-nilainya yang amat tinggi dan luhur datang dalam al-Qur’an dalam  bentuk tersurat dan tersirat. Dalam bentuk tersurat, al-Qur’an,  misalnya, menyatakan dengan nada peringatan: apakah mereka tidak  berusaha untuk mentadabburkan (memikirkan makna dan kandungan) al-Qur’an ataukah hati mereka sudah terkunci? (QS.Muhammad/47:24).
Di ayat lain dikatakan: Kitab yang telah Kami turunkan kepadamu penuh berkah agar mereka memikirkan ayat-ayatnya dan agar ulul albab (para  cendekiawan) mengingat dan menarik pelajaran darinya. (QS.Shad/38:29).  Sedangkan ayat yang pertama kali turun kepada Rasulullah s.a.w. yakni, Iqra, mencakup juga perintah membaca, meneliti, dan mendalami ayat-ayat Tuhan baik ayat-ayat qur’aniyyah maupun ayat-ayat kawniyyah.
Adapun perintah tersirat untuk memahami dan menghayati kandungan  al-Qur’an dapat dipahami secara sangat gamblang dari pernyataan  al-Qur’an sendiri bahwa ia diturunkan untuk menjadi petunjuk bagi  manusia (QS.al-Baqarah/2:186); petunjuk khusus bagi orang-orang bertaqwa  (QS.al-Baqarah/2:2). Kalau al-Qur’an diturunkan untuk menjadi petunjuk  universal bagi manusia dan petunjuk khusus bagi orang-orang bertaqwa  maka merupakan keniscayaan untuk menggali kandungan maknanya dan  menjabarkan isinya. Sebab, al-Qur’an yang sangat global itu tidak akan  dapat diimplementasikan dalam kehidupan tanpa dijabarkan dan dijelaskan  kandungannya.
Berangkat dari beberapa maklumat ayat di  atas, maka sudah seharusnya ummat Islam dalam berbagai sektor, baik  mereka yang berkecimpung dipemerintahan, pendidikan maupun masyarakat  biasa, untuk bersinergi membangun gerakan bersama untuk memahami  al-Qur’an sekaligus mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.  Tentunya kepeloporan ini haruslah muncul dari kesadaran nurani yang  tinggi dengan nawaytu yang ikhlas sebab obyek kajian adalah  Kitab Suci yang berasal dari Zat Yang Maha Suci. Dia tidak menerima  sesuatu kecuali yang suci pula. 
Itulah sebabnya kajian terhadap al-Qur’an  tidak hanya melibatkan nalar sebagai instrumennya tetapi juga harus  melibatkan qalbu sebagai pendekatan utamanya. Oleh karena itu strategi  yang digunakan untuk mengajak orang berpartisipasi haruslah benar-benar  menggunakan pendekatan yang arif dan persuasi (bil hikmah wal maw’izhat al-hasanah)  tanpa adanya perasaan digiring atau dipaksa. Sebab, tidak akan ada  kemanfaatan yang diperoleh bila al-Qur’an yang suci itu dipaksakan ke  dalam hati tanpa kesadaran yang muncul dari diri sendiri.






















 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar