Jumat, 10 Juni 2011


Jadikan Ramadhan Sebagai Rahmat, Bukan Laknat

Bulan romadhan memang bulan penuh rahmat dan berkah. Betapa tidak, kalau di luar romadhan sangat sulit makan bersama antara orang miskin dan kaya, namun di bulan romadhan bisa terjadi. Di luar Romadhan seorang ayah sulit makan bersama dengan anak dan istri karena tuntutan pekerjaan, namun di bulan romadhan bisa terjadi. Inilah salah satu rahmat dan berkah romadhan.
Namun ketika rahmat ini sampai kepada yang tidak tahu dan bersikap egoisme, maka rahmat itu akan berubah jadi laknat. Contoh paling nyata yang sering terjadi adalah saat penetapan awal romadhan dan awal syawal. Berdasarkan petunjuk rosululloh saw, “Berpuasalah karena melihat hilal romadhan, dan berlebaran karena melihat bulan sabit bulan syawal. Apabila terhalang sehingga tidak bisa melihat, maka lengkapilah syaban atau romadhan menjadi 30 hari“.
Demikianlah pedoman penentuan awal Romadhan dan Syawal sudah sangat jelas dan sederhana diberikan oleh rosululloh saw. Namun dalam perkembangan selanjutnya, ada sekelompok orang yang mengatakan, “Menurut perhitungan saya, bulan sudah kelihatan meskipun tidak dapat dilihat (metode hisab)”.  Bagi orang ini meskipun bulan tidak bisa dilihat, mereka mengikuti pendapatnya sendiri atau tidak mau menggenapkan menjadi 30 hari. Tidaklah masalah kalau pendapat itu hanya buat diri sendiri. Namun yang terjadi mereka mengumumkannya ke khalayak umum, sehingga terbelahlah umat menjadi dua golongan, yang ikut pendapatnya dan yang tidak. Dampaknya, tidak sedikit terjadi perseteruan antara suami istri, antar tatangga, antar keluarga dan antar golongan. Sehingga terjadi kerenggangan hubungan atau silaturahmi antar individu dalam keluarga dan antar keluarga sesama muslim.
Masalah ini sebenarnya tidak akan tejadi kalau seandainya semua elemen masyarakat atau organisasi Islam di Indonesia mematuhi peraturan yang sudah disepakati bersama. Pada tanggal 16 Desember 2003, dan ditegaskan kembali pada tahun 2004 MUI dan perwakilan seluruh ulama, organisasi Islam dan perguruan tinggi Islam se-Indonesia, telah memutuskan bahwa yang berhak menetapkan 1 ramadhan dan 1 syawal untuk wilayah NKRI adalah menteri agama. Sehingga kalau umat Islam Indonesia  mengikuti keputusan itu, maka sejak tahun 2004 tidak akan ada perbedaan awal puasa dan lebaran lagi.
Hal lainnya yang pernah terjadi dalam realitas adalah adanya salah seorang atau kelompok  jemaah yang mengancam imam mesjid kalau seandainya shalat tarawih dilakukan 23  rakaat. Mereka mengancam imam itu akan diusir dari mesjid kalau jumlah jumlah rakaatnya 23. Menyikapi hal ini, sebenarnya kalau kita kembali kepada Al-Quran dan Hadits, rosululloh tidak pernah membakukan jumlah rokaat shalat tarawih. Ada berbagai variasi pendapat para ulama dan mazhab mengenai jumlah rokaat shalat tarawih ini. Satu pendapat tidak mengutamakan pendapatnya sendiri, sebaliknya mereka menghargai pendapat lainnya.  Ini adalah rahmat atau kelonggaran dari nabi, mau mengambil 11 rokaat silahkan mau 23 rokaat juga  silahkan.
Oleh sebab itu, kewajiban kita sebenarnya adalah mendalami agama Islam agar rahmat dari Alloh kita terima menjadi tetap rahmat, bukan menjadi laknat. Romadhan harus menjadi sarana memperkuat silaturahmi. Tidak hanya menjalankan ritual semata, namun juga pendalaman agama. Sehingga kita sama-sama menjadikan firman alloh sebagai acuan yang harus ditaati.



Tidak ada komentar: