Selasa, 18 Januari 2011
PALESTINA MEMANGGILMU
Kusiapkan surat ini sejak belasan tahun silam, ketika darah muda masih menjadi bagian paling bergejolak dalam semangat hari-hariku. Tak seberapa dalam aku mengenal kecuali lewat pemberitaan teman-teman sepintas lalu, lewan rekan-rekan di masjid yang gencar memberitakan namamu dengan aroma heroisme. Kupikir, sangat hebat ketika aku ikut ambil bagian dalam teriakan-teriakan lantang sebuah perjuangan kemerdekaan yang masih terus bergolak di timur tengah.
Tapi bukankah ruh itu ibarat burung-burung yang terbang dalam satu kelompok? Hanya mendengar sebuah nama, kurasakan jantung ini melompat, meluncur keluar dari diafragma yang menyangganya. Sentuhan berikut yang makin membenamkan diri dalam cinta padamu adalah ketika kutemukan sobekan wajah seorang pemuda. Tajam matanya. Kontur wajah tertutup dalam balutan kafiyeh.
“Yahya Ayyasy,” kata sekelompok muslimah, memandang foto itu takjub.
“Bukan, itu Imaad Aql.”
Kutempel foto tersebut di dinding kamar, dengan ledekan teman-teman yang menyatakan aku jatuh cinta pada sosok yang bukan hanya mustahil diraih, tapi gila untuk dicintai. Mencintai orang mati apalah gunanya? Jarak membentang, batas negara menghadang, harapan mustahil untuk memiliki pemuda seperti dia. Peduli amat, , bukan foto itu yang ingin kunikahi. Bukan dia yang ingin kusambut benihnya dalam rahimku. Aku ingin, ingin sekali, punya anak-anak seperti dia. Seperti Yahya Ayyasy dan Imaad Aql.
Foto itu tetap tersimpan bertahun lamanya hingga lusuh, tak terbaca, tetapi impian bersamamu tak pernah sirna. Meski bagaimana rupa mujahid itu samar jejaknya dalam ingatan, semangat mencintaimu tetap membara seiiring kudengar nasyid Al Ardhu Lana atau Ilahi Anta. Ketika seorang pemuda sholih meminangku, satu demi satu amanah lahir dan kuberi nama ia seperti pemuda impianku dulu : para mujahid dan ulama yang terus berjuang demi kemerdekaan manusia.
Hari demi hari berlalu.
Impian tentangmu naik turun, timbul tenggelam, terang seterang matahari tapi juga bagai cadas di balik kabut, tak mampu dilukis. Apalagi negeriku porak poranda oleh belasan, puluhan, ratusan bahkan ribuan tragedi yang sama memilukan seperti dirimu. Satu demi satu pemimpin berganti, kemenangan bergulir, kebaikan dan kejahatan berkejaran bagai kereta api melaju di atas rel yang berdecit-decit. Harapan tetap merekah seiiring para pembaharu berjuang memeras keringat, darah, hingga airmata ke tetes terakhir untuk mengembalikan keadilan dan kesejahteraan di negeri ini.
Cinta dalam hatiku, ternyata mengendap jauh ke dasar hati.
“Cast Lead akan digelar 28 Desember 2008,” jurnalis memberitakan berita yang mengejutkan, meski harusnya, sudah dapat diperkirakan.
Musuh lamamu kembali, bukan?
Memangnya mereka akan membiarkanmu tenang begitu saja?
Hamas menang, Ismail Haniyah menjadi perdana menteri. Memintamu melakukan gencatan senjata, melucuti tentara ketika milisi sipil mereka berhak mengokang senapan semaunya. Setelah Shabra Shatila yang memilukan, tak lengkap rasanya jika dalam satu dekade Israel tak menorehkan sejarah kembali.
Satu hari. Dua hari. Sejak 28 Desember hingga Januari 2009 kami , belahan dunia menjerit-jerit melihatmu digempur habis-habisan, dan saat 15 Januari tabel di koran-koran melaporkan angka yang mencengangkan : 635 laki-laki, 76 wanita, 322 anak-anak tewas; 4800 korban luka. Rumah rata 20.000, 400.000 masyarakat tanpa air bersih.
Pena dan kamera silih berganti merekam jejak sejarah yang tak mungkin terhapus dalam ingatan, sebagaimana Freud mengajarkan di kelas-kelas Psikologi : masa lalu akan senantiasa menghantui!
Mundur.
Gencatan senjata.
Blokade.
Begitulah kau selalu disudutkan. Dan kau, selalu mampu membangkitkan gelora cintaku kembali ketika Hamas dengan amplop-amplop lusuh, dihimpit penjara dunia, difitnah sebagai teroris tetap membagikan uang bantuan kepada janda-janda yang kehabisan airmata. Kau bertahan, kali ini, untuk membuktikan pada dunia bahwa Palestina masih memiliki jiwa bersih; jiwa bersih dalam diri rakyat hingga pemerintahnya. Tak akan pernah brutal beringas sebagaimana penyerangnya yang pengecut, pecundang, hilang akal dan bermental kotor.
“Khoibar-khoibar Yahuud! Jaisyu Muhammad saufa ya’uud!!Allahu Akbar…!!! Hancurkan Israel! Bebaskan Palestina! Buka perbatasan Gaza!”
“Ayo, dilelang foto-foto Palestina mulai harga limaratus ribuuu..!!!”
Saat itu, uang dan perhiasan rasanya tak berharga dibanding rasa cinta ini.
Munashoroh digelar di se antero Indonesia. Eropa, Amerika, Jepang, Australia, Perancis bersikap sama : Israel penjahat perang, Israel melakukan genosida. Seruan membakar bendera Yahudi, memboikot produk-produk yang memberikan dananya bagi Israel, apapun yang dapat menghambat laju pengrusakan terhadapmu berupaya dilakukan.
Setahun yang lalu, hati ini tercabik-cabik merasakan cinta tak dapat menyampaikan hasrat dengan semestinya. Bukannya cinta adalah merangkul, mendukung, mendampingi di saat dukalara? Seingatku, kau belum pernah bahagia seutuhnya meski berita-berita membanggakan membuatku tersenyum : gelar doktor berserak di negerimu, tiga gadis yang menemukan alat pemindai tongkat tunanetra berhasil mendapatkan tiket ke olimpiade sains di San Jose, California; dan mereka mengumpulkan bahan-bahan di bawah jam malam yang diberlakukan.
Aku selalu memikirkanmu.
Bermimpi suatu saat mencium wangi zaitun dan mencicipi anggur yang menjalar di bukit-bukit sepanjang Ramallah, melakukan sarha, menembus harassha. Aku ingin tahu reruntuhan benteng di dataran subur Marj Ibn A’mr yang membentang di bawah pegunungan Carmel ke Jenin. Kudengar kaupun memiliki bunga-bunga indah yang tak didapati di tempat lain : iris biru, flax merah muda, maltese serta anggrek piramida. Hm, kapan kau mengizinkan aku menemuimu? Rindu ini sungguh, makin lama makin membuatku haus bertatap muka.
Mencintaimu, ternyata tak semudah melontarkan sebuah kata atau sebait syair.
Setiap yang mencoba mendekatimu, menyerahkan kepingan hati padamu, jawabannya adalah sama : penghancuran sistematis yang telah dipersiapkan dengan rapi. Suatu malam, sebuah berita pendek muncul di layar telepon seluler. Memohon doa, kapal Mavi Marmara dalam rombongan Freedom Flotilla bersiap menghadapi gempuran dan semenjak itu, aku mengikuti beritamu hanya dari layar kaca dan lembar-lembar koran yang kutempel laporan tentangmu di dinding-dinding rumah.
Cinta ini, untuk kesekian kali, mengalirkan airmata yang tak dapat tertahan dan dihapuskan kegembiraan-kegembiraan yang lain. Kelaparan, meradang dalam rasa sakit, terpenjara dalam tembok yang lebih tinggi dan lebih panjang dari tembok Berlin yang memisahkan Jerman Barat dan Jerman Timur. Tak sembarang bantuan kemanusiaan dapat berlabuh di Gaza sebelum tertimbun dulu di Ashdod, pelabuhan Israel. Kami hanya ingin membantumu bertahan hidup, memakan gandum dan mengkonsumsi obat-obatan yang dibutuhkan, nyatanya hal itu dianggap terlalu berbahaya.
Setelah sekian lama, mungkinkah kau bertahan?
”Nanti kalau Palestina berhasil menang, mengalahkan Yahudi, berarti itu tanda-tanda kiamat, Ummi?”
Ucapan gadis kecilku tampak cemas. Ow, bukan begitu postulatnya, Sayang. Bukan karena Palestina menang maka menghadirkan hari kiamat tetapi kita harus membantu mereka hingga kiamat menjelang.
”Memangnya kenapa kita harus membantu mereka?” Ahmad ganti bertanya.
”Karena mereka saudara kita.”
”Tapi, bukankah Arab lebih dekat?”
Ya.
Abu Dhabi yang mampu membangun Burj Al Arab, menimbun laut dan menciptakan pulau buatan Palm Jumeirah dan Palm Jabal Ali. Para pengeran Arab yang membeli klub-klub sepakbola, berebut mobil ; membangun tempat wisata buatan serupa Alpen, Swiss ke negerinya. Karena kekayaan tak sebanding dengan cinta.
”Kita berhutang budi pada Palestina,” ucapku.” Ketika kita berperang melawan Belanda, berjuang mencapai kemerdekaan, saudara-saudara kita di Mesir dan Palestina turut menggalang dukungan agar kita lekas berdiri sebagai negara merdeka. Tapi sejarah ini demikian mudah dilupakan. Tak banyak orang Indonesia mengingatnya.”
Aku, kami mencintaimu.
Bahkan, kuungkapkan keinginanku untuk bertemu denganmu yang lekas dibantah suamiku. Mana boleh, katanya! Mungkinkah ia cemburu? Cemburu bila aku lebih memilih berada dalam dekapanmu selamanya, seperti Rachel Corrie, dibanding berada di sisinya dan berjuang demi negeri ini?
Palestina.
Tiap kali nama ini disebut, bukan hanya puing dan reruntuhan yang membuat miris. Bukan jumlah korban dan derita kerugian yang membuat hati ini berduka. Tapi justru , ketidakpedulian negara-negara besar di sekelilingmu tak dapat dimengerti. Bagaimana mungkin menutup mata ketika telinga mendengar lolong teriakan dan hati masih mempompa darah dari jantung?
Aku masih mencintaimu, seperti dulu.
Dengan hasrat sama dan semangat yang terus menggelora. Tak ada yang dapat memisahkan cinta ini, kecuali, jika kau izinkan aku menemuimu. Kau atau aku, salah satu yang harus berkalang tanah dulu.
Aku memintamu dengan permintaan aneh yang menggelikan, atau terlalu bodoh terdengar, atau terlalu gila untuk dunia yang semakin bersilat lidah, berputar-putar mengekor di belakang ekor Israel. Aku memintamu dengan satu hal yang mungkin akan membuatmu menamparku atau mengusirku jauh-jauh dari tanahmu. Meski sungguh kuyakin, kau terlalu baik untuk dapat berbuat nista. Kau tak pernah menggunakan bom fosfor, membunuh wanita dan anak-anak, mengutil bantuan kemanusiaan sekalipun dalam situasi perang segala yang buruk mungkin dimaklumi, atau bahkan diizinkan.
Atas nama cinta yang sedemikian mengendap jauh di dasar sanubari, pada benak yang tak henti-henti rangkaian synapsnya menggaungkan namamu, pada degup jantung yang detaknya demikian normal karena kami tak pernah mendengar desing peluru dan guncangan mesiu. Atas nama apapun yang kau anggap berharga.
Kumohon.
Bertahanlah.
Dengan kekuatan apapun yang kau punya, dengan kekuatan apapun yang telah disiapkan, dengan bantuan yang demikian minim mengalir ke Gaza. Asalkan kau tahu, sosokmu yang membuat kami mampu bertahan dan terus berjuang hingga sejauh ini.
Jika dapat kondisi serba kekurangan Hamas masih mampu mengulurkan tangan, mengapa kami tidak? Jika dalam keadaan serba terhimpit, putra-putrimu berhasil menempuh studi tinggi, mengapa kami tak mampu melakukannya di tengah situasi aman tentram negeri ini? Jika kau selalu berupaya di jalur lurus, menegakkan pemerintahan yang benar, mengapa kami tak melakukannya dengan para kepala daerah pilihan kami? Jika kau selalu berusaha berada di jalan kebenaran, bagaimanapun upaya dunia berupaya menindas, merontokkan, menghajar, menghabisimu; tidakkah kami ingin mencontoh keutamaan-keutamaan itu?
Karena Palestina, kaulah yang membuat kami, kaum muslimin selalu terjaga.
Penyakit wahn mungkin menjangkitiku dan kau berhasil mengusirnya, mematrikan bahwa kematian dan kehidupan bukanlah sisi terpisah. Harta kekayaan menyilaukan, tetapi kau memastikan bahwa kemuliaan tidaklah bersandar padanya. Saat penguasa negeri kami yakin bahwa kekuasaan selalu bersumber pada kekuatan dan uang, kau membuktikan, sebagai penguasa yang kau lakukan adalah mengabdi pada rakyatmu. Ketika cinta antara adam dan hawa terpatok pada harga tubuh yang molek, kau membuktikan, cinta para pemuda Palestina teruntuk kaum hawa suci yang mampu memberikan keturunan terbanyak bagi tanah para anbiya.
Setelah sekian lama cinta dan rindu ini terpendam, kaukah itu yang memanggilku kembali, Palestina?
Untuk mengingatkan bahwa hidup yang sementara ini harus mencari sebanyak-banyak bekal. Untuk menegaskan bahwa kematian bukanlah sesuatu yang perlu ditakutkan. Untuk menggaungkan bahwa di era millenium ketiga, dimana batas-batas negara diabaikan demi arus globalisasi, sebuah negara diisolasi dari dunia luar dengan tembok dan benteng.
Kau memanggilku, Palestina?
Mengingatkan bahwa kita diikat oleh persaudaraan yang makin lama makin rapuh karena kesibukanku mengumpulkan kesenangan-kesenangan. Aku lupa, tapi kau tak pernah lupa. Aku mencintaimu, ajarkan aku mencintaimu dan makin kuat sepertimu.
”Ummi, aku buat puisi untuk munashoroh.
senja ini, aku duduk manis
di depan televisi, menanti berita melintas basi
tiba-tiba, wajahku pasi
ah...'keberapakah kalinya ini?' ujarku berintuisi dalam sunyi
tertahan di pintu gerbang
uluran dunia untukmu, Palestina.”
Anakku, kutumbuhkan dalam diri mereka cinta padamu.
Puisi goresan tangannya, tumpah begitu saja saat melihatmu .
Suatu ketika, sebuah pesan singkat sampai padaku.
“Maukah kau ikut bersama rombongan kami berangkat ke Gaza?”
Bulan Sabit Merah, menawarkan sebuah perjalanan panjang untuk menemuimu.
Galau, sudah pasti. Tak ada apapun yang pantas dibanggakan untuk berdiri tegak di hadapanmu! Lagipula, tak tersedia cukup nyali untuk mendengar desing peluru, menyesap aroma mesiu, melihat ceceran darah atau menyaksikan kematian bagai daun berguguran di musim kemarau. Rasa takut tak melampaui keberanian, rasa nekat tak pernah melewati akal sehat.
Tapi, mungkinkah menolak ajakan itu?
Bulan Sabit Merah tak memaksa. Hanya menyampaikan pesan.
Mereka yang pernah berangkat ke negeri anbiya, selalu bermimpi untuk kembali. Menyaksikan kanopi langit, gurun pasir, biru laut Mediterrania, terusan Suez, denyut sungai Nil, Rafaah. Dan juga, Gaza, pada akhirnya. Tak seorangpun kecewa, setiap jiwa berharap kembali ke sana.
Aku mungkin tak mencintaimu sebaik yang seharusnya.
Jika cinta ini tak cukup besar untuk membuatku bertahan. Jika tak sampai waktu mencium wangi zaitun bersamamu atau berjamaah di Al Quds, menyaksikan lengkung langit Jerusalem dengan kedua belah mataku sendiri, kuharap anak-anak akan menyampaikan hasrat ini . Aku ingin berpesan agar mereka membawa sedikit remah tanahmu, bertabur di atas nisanku, agar damai jiwaku berkalang tanah suci para anbiya.
Kau memanggilku kali ini.
Demi cintaku, aku tak akan lari.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar